Sabtu, 28 Agustus 2010

Dear Mrs..

August 23, 2010


Bu, saya meminta maaf jika saat saya bertemu dengan ibu susah sekali untuk berbicara. Saya malu, malu karena saya bukan pembicara yang baik dan saya khawatir akan menangis karena saya berjanji untuk menjadi pribadi yang kuat (tidak boleh MENANGIS) didepan orang . Saya orangnya pada dasarnya pendiam tapi jika sudah kenal orang akan berbeda sekali. Tapi saya sekarang belajar bahwa diam tidak selalu EMAS. Peribahasa ‘DIAM ADALAH EMAS’ lebih cocok pada saat orang menahan amarah. Saat ini saya benar-benar berlatih untuk ‘berbicara’ (mengungkapkan perasaan dan apa yang ada di hati). Masih jelas dibenak saya, saat saya tidak menyukai apa yang ibu dan ayah tiri lakukan didepan kami. Ingin sekali mengatakan pada ibu untuk berhenti melakukan hal tersebut tapi saya tidak bisa mengatakannya, saya hanya menangis masuk kamar selama berhari-hari, tidak makan sebagai bentuk protes saya. Dan itu terjadi berulang-ulang kali bahkan terkadang sampai sekarang. Itu ternyata hanya menyakiti diri saya sendiri tanpa menyelesaikan masalah. Dan saya menyadari bahwa saya sudah berada di tahap ‘KRONIS’. Begitu luarbiasa sulitnya bagi saya untuk BERBICARA…Jika ada yang menjual ramuan ‘lancar berbicara’, saya pasti akan beli;)
Setelah perceraian orangtua, saya lebih suka menghabiskan waktu dikamar, membaca, menulis, dan belajar segala sesuatunya dengan sendiri. Saat itu saya ikut ibu,dan adik tinggal dengan ayah, sedangkan kakak saya tinggal dengan nenek sedari kecil. Saya merasa seperti anak tunggal, tidak punya teman. Adik saya saat itu masih SD, dan selalu ada sesi ‘siapa cepat dia dapat’, ibu dan ayah saya berlomba-lomba menjemput adik saya setelah pulang sekolah. Terkadang sampai belum waktunya pulang sekolah, adik saya sudah dibawa pulang ayah atau ibu saya. Kalo sudah begitu, pasti keesokan harinya salah satu dari mereka akan datang lebih awal menunggui didepan pagar. Saya sampai kasihan dengan adik saya yang bingung pulang kerumah ayah atau ibu. Kalau ingat peristiwa itu sekarang, saya tertawa sendiri..mirip sekali di sinetron, saya kira sinetron hanya cerita non-fiksi belaka ternyata dalam kehidupan ada juga yang mengalami sedemikian rupa.
Kakak sudah ikut nenek sejak masih kecil, orangtua bekerja sehingga saya diasuh oleh pembantu begitu juga adik saya. Masing-masing punya pengasuh sendiri. Saya terkadang membandingkan antara anak yang dibesarkan oleh pengasuh dan anak yang dibesarkan oleh ibunya sendiri, ternyata sangat jauh hasilnya. Anak yang diasuh oleh oranglain/pengasuh, tidak begitu dekat secara batin dengan ibunya. Anak yang diasuh oleh ibunya, lebih terbuka atau menceritakan hal apapun. Saya menyadari mengapa saya kurang dekat dengan ibu dikarenakan saya menghabiskan masa kecil saya dengan pengasuh. Yang mengantar saya masuk sekolah TK pertama kali adalah pengasuh saya, yang menyuapi, menyiapkan kebutuhan sekolah dan semuanya adalah pengasuh saya.
Di moment lebaran ini, saya ingin sekali bisa baik dengan semua orang (ibu tiri saya). Sudah 8 tahun lebih saya tidak bertegur sapa saat saya main atau sekarang tinggal dirumah ayah saya. Begitu pula pertengkaran ayah saya dengan kakak selama 6tahun ini supaya cepat berakhir. Mengakhiri konflik ini dengan indah adalah hal yang saya idam-idamkan meskipun saya adalah orang yang sulit memaafkan dan melupakan, saya menyadari jika orangtua saya lupa mengajarkannya pada saya karena orangtua saya juga sulit memaafkan satu sama lain hingga sekarang padahal perceraian itu sudah 13 tahun yang lalu..Lagi-lagi saya takut bahwa ibu akan memarahi saya karena telah berbaikan dengan ibu tiri. Suatu kali ibu pernah berkata jika saya berbaikan dengan ibu tiri sama dengan menghianatinya. Saya bingung, ibu saya mendoktrin dengan hal-hal seperti itu. Selalu bertanya-tanya ‘kenapa orangtua (status perceraian) jaman sekarang mencoba mewarisi kemarahan dan kekecewaan pada anak-anaknya, berlomba-lomba merinci kekurangan, mengatakan hal-hal buruk satu sama lain, menceritakan detil yang tidak pantas, lalu kenangan indah apakah yang tersisa di benak kami (anak-anak)?’. Tapi di sisi lain, tidak bisa disalahkan juga jika ibu saya bersikap begitu karena perjuangannya yang luar biasa menghidupi anak-anaknya dari bawah sampai sekarang ini.
Saya ingin sekali orangtua saya bersikap lebih dewasa, mengingat kami juga beranjak dewasa. Masih saja berkutat dengan masa lalu yang harusnya sudah jauh kami tinggalkan. Dan mulai menghargai perasaan saya untuk tidak selalu menyalahkan saya untuk hal-hal yang tidak perlu diributkan.
Saya merasa berdosa jika pada akhirnya saya sangat pintar sekali menilai setiap tindakan dan perkataan orangtua saya? Itu bukan untuk apa-apa, hanya saja saya membandingkan tingkat kedewasaan orangtua yang kadang lupa untuk bersikap seperti orangtua. Saya menyadari bahwa orangtua juga bisa lupa dengan apa yang pernah mereka ajarkan pada anak-anaknya dengat sangat keras. Saya tertawa dan menangis dalam diam saya, menyadari bahwa tidak ada yang sempurna namun manusia belajar dan berkembang dari hari ke hari tapi tidak semuanya dapat belajar dari kesalahan dan pengalaman. Untuk menjadi baik, ternyata sangat mudah yaitu cukup memaafkan dan melupakan.
Saya belajar untuk berdamai dengan masa lalu. Saya mencoba untuk tidak mengingat-ingat kejadian buruk tetapi sangat sulit sekali. Dilain sisi, Alhamdulillah ma’am, saya sangat bersyukur sekali bahwa saya banyak belajar dari kehidupan. Saya baru tahu jika kebahagiaan itu berasal dari sudut pandang, saya ingin sekali berkata bahwa saya sangat beruntung bisa menjalani kehidupan saya sampai saat ini. Meskipun buaaanyak sekali peristiwa-peristiwa yang menjadikan saya ‘berbeda’ dengan yang lain. Tak pernah terpikir bagi saya untuk menjalani hari-hari yang kadang terasa begitu berat, dipaksa untuk berpikir dewasa sebelum waktunya ( memang benar dewasa adalah pilihan), dan belajar menyenangkan diri sendiri. Dan sekarang saya sudah siap menyambut DUNIA;). Dan ada saatnya hal-hal yang saya rasa tidak menyenangkan akan terasa indah pada waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar