March 1, 2010
Bu, aku tahu ini sulit tapi semuanya terlanjur terjadi. Aku Cuma pengen bilang bahwa setiap kita bertengkar dan berbaikan lagi, itu bukannya menambah hubungan kita semakin baik. Itu mendorongku beberapa jengkal kebelakang, hubungan kita semakin jauh. Semuanya berubah tapi ingatlah bahwa aku tidak akan pernah berubah. Aku bersyukur bahwa kita sekarang punya semua yang kita impikan sewaktu kita masih jadi gembel. Tuhan telah mebalikkan roda kehidupan yang menjadikan perekonomian kita membaik. Tapi dibalik itu semua aku sendiri harus membayar mahal dengan perasaan-perasaanku yang selalu tersakiti. Aku rasa kita tidak memerlukan harta itu lagi, sebelum kita punya segalanya kita tinggal di gudang kantor ibu tapi kita bahagia. Kita berempat, aku, ibu, kakak, adik. Hampir tiap hari terdengar jeritan ketakutan karena tikus atau kecoa melintas didepan kita tapi setelah itu terbahak-bahak melihat kekonyolan saat berusaha menghindar dari hewan menjijikkan itu. Juga kamar mandi yang terpisah dari rumah, ada diluar. Kadang kalo pengen pipis ditengah malam harus membangunkan satu sama lain karena takut mungkin aja ada genderuwo yang kepeleset dari pohon mangga disampingnya. Dapurnya juga kepisah dari rumah, ada dibelakang pojik dekat gudang kertas, kalo malam-malam ga ada makanan, goring aja nugget ato bikin mie tapi ya itu harus nyetel mp3 yasin dari hape biar setan-setan ga pada nungguin masak. Kadang makan diluar rame-rame jalan kaki. Sekarang kita punya mobil, didepan duduk ibu dan suami baru ibu dan dibelakang kita bertiga. Tapi rasanya beda, hampa, dan selalu berharap didepan adalah ayahku. Tampak mereka berdua bahagia tapi kita dibelakang mungkin sulit mendapatkan kebahagiaan kami kembali. Coba kamu tanya salah satu teman kamu yang mengalami hal serupa? Pasti hanya satu mimpi dan kebahagiaan mereka, yaitu melihat orangtua bersatu lagi suatu hari nanti! Ini adalah mimpi mutlak ga bisa ditawar lagi.
Anak benar-benar korban dari keegoisan orang tua ketika mereka memutuskan bercerai, namun ada yang lebih menyedihkan saat orangtua mengalami puber kedua dan si anak lagi lagi lebih terluka karena si ibu menunjukkan public dispay of effection dengan suami barunya dimanapun berada mirip film-film barat. Rasanya menjijikkan sekali melihatnya, tapi inilah cinta yang membutakan kadang ga memperdulikan perasaan pemirsa setia (yaitu anak-anaknya). Tapi apa daya saat si anak menegur dengan halus, si ibu menyemprotkan puluhan kalimat kasar yang membuat anak tertegun dan bertanya dalam hati ‘siapakah wanita yang sedang berbicara ini?’. Dan akan timbul ribuan pertanyaan perbandingan dari benak si anak seperti ‘Ayah aja yang udah nikah juga, tidak pernah menunjukkan ‘public display of effection’ bahkan saat ayah dan ibu masih bersama tak pernah sekalipun mereka seperti itu paling Cuma cium tangan aja or paling banter ya cium pipi kanan kiri pas salah satu dari mereka ulang tahun. Sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, saat si ibu pada suatu siang tiba-tiba masuk kamar dengan suami barunya saat si anak-anak sedang menonton TV dan kamar ibunya berada di samping TV. Si anak yang baru menginjak 18 tahun langsung tahu apa yang mereka lakukan lalu dia marah dan masuk kamarnya, menangis. Diikuti sang kakak yang berusia 21 tahun, mengikuti adiknya dan menangis bersama. Mereka tak habis piker kenapa ibu mereka tidak memperdulikan perasaan anak-anaknya yang masih belajar untuk menerima hubungan mereka yang tak biasa ini. Ini sudah kesalahan fatal yang akan berujung pada traumatik mental pada anak-anaknya. Si adik ini langsung mengurung diri seharian dikamar, setelah ibu selesai ‘melakukan’ itu dengan enteng ia bertanya kenapa sikapku tiba-tiba berubah. Oh Tuhan, aku tak mengerti mungkin mum has lost her mind. Dia tidak sadar apa yang barusan ia lakukan telah melukai sangat hatiku dan kakakku. Besoknya 2 anak ini kembali ke kota malang karena mereka berkuliah disana dan kost ditempat yang sama. Kita tidak membahas itu karena tahu akan menimbulkan luka. Minggu depannya kita berdua pulang dan segera melupakan kejadian itu, tapi tak berapa lama ibu mengeluarkan kado-kado yang terbungkus rapi di kamarnya untuk ultah adikku cowok dan ayah, tiba-tiba ia mengeluarkan kado-kado itu dan memanggil suaminya dan mereka masuk kamar lagi. Ya Allah, aku sudah tak tahan lagi dan terisak dikamar. Kakak juga masuk dan berdoa dengan bibir bergetar menahan marah. Aku menjerit tak kuasa menahan ini semua, ibu keluar dari kamar dan menggedor kamarku, menyuruhku untuk keluar. Aku dan kakak tak bergeming dari tempat tidur dan ibu makin histeris, ia melempar vas bunga ke pintu kamar dan berteriak menghitung betapa berjasanya ia telah membesarkan kami dan mencukupi kebutuhan kami. Tak berapa lama keadaan tenang, lalu ibu berkata bahwa ia tidak akan pulang dan ia pun pergi entah kemana dengan suami barunya. Kami berdua didalam kamar berpandangan dan tak habis piker betapa bodohnya ibu kami. Pukul 10 malam, mereka kembali dan sambil tertawa-tawa memasuki rumah mirip seperti orang mabuk. Tak ingatkah bagaimana mereka menyakiti hati kami? Memang pada saat itu mereka belum resmi menikah dan hanya menikah sirri, aku menyetujuinya dan kakak menolak. Aku hanya berpikir bahwa semoga pernikahan ini membawa kebaikan tapi malah sebaiknya. Suami baru ibu tidak tidur dirumah karena mereka belum resmi menikah. Entah kenapa mereka tidak sabaran menunggu waktu yang tepat untuk berdua, bukankah aku dan kakak hanya berada dirumah saat weekend saja. Mereka dapat melakukan hal itu saat kami ada di malang. Sungguh kejadian ini masih berbuntut dengan masalah-masalah lain yang aku rasa ini karena keegoisan ibu. Sejak saat itu aku mengajukan pada ibu agar suami barunya tidur dirumahnya saja meskipun jika mereka nantinya resmi menikah tapi ibu perlahan-lahan selalu mengikari janji yang kami sepakati. Hal ini selalu membuatku terluka sementara saudara-saudara dari pihak ibu selalu membelanya dan menghadiahi ku dengan julukan anak durhaka karena telah melawan ibu. Aku tidak melawannya tapi hanya mencoba mencari hak-hakku karena ibu sudah salah menunjukkan hubungan ini. Ini meberikan trauma yang sangat dalam bagiku, saat mereka menutup pintu kamar dan masuk, suara pintu itu mebuatku teringat hal itu. Ibu masih belum menyadari bahwa kami berdua sangat terluka dan ada kesedihan yang luar biasa dihati. Tetap saja mereka sekarang menunjukkan public display of effection dengan berciuman bibir terkadang jika suami barunya pergi bekerja. Ibu, ibu, kapan engkau berubah? Tak heran jika ayah meninggalkanmu dan semua yang ayah katakan adalah benar. Aku menyesali 4 tahun ini, jauh sebelum engkau mengalami puber kedua, kau adalah idolaku. Semua waktu kucurahkan untukmu dan prestatsi disekolah semata-mata untuk membuatmu bangga. Saat aku duduk di bangku SMP dan SMA, teman-teman mengajakku berenang atau nonton konser music, aku lebih memilih pulang untuk melihat kau dan mendengarkan keluh kesahmu. 4 tahun ini aku kadang membutuhkanmu sewaktu-waktu tak selalu setiap hari tapi aku cukup tahu diri bahwa kau lebih sibuk mengurusi suami barumu yang baik hati dan romantic. Aku memilih menjauh dan menyimpan kerinduamku bersamamu sejenak, mengenang bahwa hubungan ibu dan anak ini begitu hangat jauh sebelum engkau mengenalnya. Doa-doa yang aku bacakan pada Tuhan di malam-malam dengan cucuran airmata ini tak mampu mengembalikkan keadaan dalam keadaan baik. Mungkin dan aku yakin bahwa Tuham memilik rencana yang hebat dan melatih hidupku untuk tidak bergantung dengan orang-orang bahkan dengan orangtuaku sendiri.
Bu, kau selalu melibatkanku dalam segala permasalahnmu. Aku selalu terima, namun sekarang saat aku minta waktumu dan menagihmu untuk janji kita bahwa jika aku pulang kerumah maka suami barumu akan tidur dirumahnya tapi kau tak menyanggupinya. Dia tetap diruma ini 24 jam. Dengarkan bahwa kau tidak pernah siap dengan keluarga barumu ini, ini semua salah dari awal. Andai kau dan suamimu lebih sabar pada saat itu untuk tidak ‘melakukannya’ di hadapan anak-anakmu yang sudah mengerti akan hal-hal itu mungkin sekarang kita sudah bisa menjadi keluarga baru yang bahagia. Tapi sudahlah, aku tak pernah benar jika itu sudah menyangkut suami barumu. Selalu pertengakaran-pertengkaran ini kau salah artikan bahwa aku tidak menyukai suami barumu. Bu, sekali lagi kau salah. Ini semua buka karena itu, ini hanya butuh pengertian ibu yang tidak bisa mengembalikanku kejalanku. Pernahkah ibu bertanya dalam hati kapan terakhir kali aku bahagia? Pernahkah ibu berpikir apakah aku bahagia dengan hidupku sekarang?
Aku sudah tahu jawabannya ‘TIDAK TERPIKIR SEDIKITPUN’. Yang ibu tahu bahwa aku selalu butuh uang dan ibu mencukupinya. Mungkin engkau berpikir bahwa itu sudah cukup dank arena engkau selalu memberikanku segalanya maka berarti itu aku harus baik and menurut dengan segala keingkaran janjimu yang tak mampu kau tepati. Juga mungkin kau berharap agar aku harus berterima kasih dengan suami barumu yang kadang juga menyukupi kebutuhanku dengan cara melihat kau dan dia berciuman didepanku. Itu karena engkau tak bisa tegas dalam hidup ini dan memilih lebih menjaga api cintamu dengan suami barumu. Terbesit dibenakku bahwa engkau bukan remaja yang kadang berpikir bahwa dunia hanya milikmu berdua dengan suamimu. Engkau adalah seorang ibu yang seharusnya lebih dekat dengan anak-anak yang selalu saja kau sakiti dengan menyaksikan kemesraanmu dengan suami barumu. Ibu Ibu, masihkah surga itu ada ditelapak kakimu? Ibu, ayah juga telah berbuat kejam dengan kita tapi dia dengan cepat memperbaiki kesalahnnya. Ia lebih mengerti dan tidak pernah memaksakan aku untuk menyukai istri barunya. Ia sadar bahwa kehadiranku dirumah hanya dua hari, maka ia lebih meluangkan waktu denganku dan istri barunya pulang kerumah ibunya dan menghabiskan waktu bersama 2 anaknya (Ayahku menikahi janda beranak 2). Tak jarang ayah selalu mengirimkan pesan singkat padaku untuk menasehatiku agar aku selalu bersabar dalam menjalani hidup ini dan ingat ALLAh sebagai penolong. Aku selalu terharu membaca pesan-pesannya. Aku tahu didalam lubuk hatinya, ia tak pernah ingin melibatkan anak-anaknya dalam perjalanan hidup yang rumit ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar