Sabtu, 02 April 2011

Novel 1

Dian bersama Doni menuju tempat kakek nenek. Seperti biasa Dony berpesan bahwa Dian tidak perlu ikut masuk karena hanya sebentar saja. Sesampainya disana Dian menunggu di mobil. Dari kejauhan ia melihat oma opa menyambut Donu dengan ciuman dan pelukan. Ah Dian Iri sekali, andai ia bisa merasakan hangatnya sikap mereka. Bagi Dian, oma opanya sama saja dengan mama papa yang tidak peduli bahkan membencinya. Entah kenapa keluarganya membencinya, salah apa dia. Hawa yang panas siang itu meskipun Ac dinyalakan, tapi tidak membantu. Dian memutuskan keluar mobil dan memilih menunggu Doni Doni di teras rumah oma opa. Melirik kedalam rumah, tersaji makanan dan minuman tanda waktu makan siang tiba. Oma tak sengaja beradu pandang dengan dian, dian terburu-buru mengalihkan pandangannya. Oma hanya diam saja, tidak memanggilnya untuk makan siang tapi dian tahu itu tidak akan pernah terjadi. Angin semilir berhembus, Dian menikmatinya. Dia berkeliling halaman yang penuh dengan bunga mawar. Sudah 45 menit berlalu, Doni tak kunjung keluar.

“Lama sekali, bagaimana kalo masuk saja.” Batin Dian. Ingin sekali memberanikan untuk masuk ke rumah oma, tapi pernah sekali Dian masuk ke rumah oma dan oma sangat berang dan menyuruhnya keluar, saat itu usianya baru 13 tahun. Jika dihitung-hitung, sudah 3 tahun dian tidak pernah masuk kerumah oma. Mungkin beberapa bagian rumah sudah berubah, karena oma suka sekali menganti-ganti dekorasi rumah. Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, matahri meninggi diatas kepala. Tanpa disadari, tubuh Dian bergetar, peluh membasahi dahinya. Dian ingin minum, segera diperiksanya mobil barangkali ada sebotol air mineral yang selalu tersedia di mobil tapi tak ada apapun. Satu jam lima belas menit sudah, Dian mendekati rumah oma dan terdengar tawa riuh mereka. Seperti biasa Dony menceritakan betapa hebatnya dia di lapangan basket, mengalahkan lawan-lawannya, menjadi mesin pencetak angka, dan idola cewek-cewek di sekolahnya. Dony memang menyukai basket sejak ia berumur 6 tahun, perawakannya tinggi, kekar, ditambah tampang indo jerman yang membuat cewek-cewek tidak bisa tidak untuk memandangya.
Tiba-tiba pandangannya kabur, entah karena tidak tahan dengan cuaca panas . Tubuhnya limbung dan ia pun pingsan. Kepalanya sedikit membentur keran air yang ia akan jangkau sebelum akhirnya pingsan. Tak lama, Doni akhirnya keluar diantar oma opa. Saat ia keluar, ia melihat Dian terkapar.
“ Astaga!” Jerit semuanya. Dony segera membopong Dian kedalam. Oma panik karena melihat darah dari kening Dian, kakek segera menelpon dokter keluarga.
“ Kenapa selalu menyusahkan”. Umpat Dony sambil menguncang-guncagkan tubuh Dian, memaksanya untuk siuman tapi tak ada reaksi. Oma mengusapkan minyak kayu putih di hidung Dian, pucat sekali mukanya. Lalu mengambil air hangat dan mengelap wajah Dian.
Dokter sudah datang, segera memeriksa Dian. Dokter keluarga ini sudah menjadi dokter dikeluarga ini sejak 11 tahun yang lalu. Dia yang menangani setiap masalah kesehatan yang ada di keluarga Dian. Orangnya masih cukup muda, cantik, tinggi, lembut, tak banyak bicara, dan lemah lembut. Dia pun berjiwa sosial, mendirikan rumah sakit sosial khusus bagi orang-orang tidak mampu di daerah petamboran. Tak jarang ia datang sendiri saat Bik Ijah menelponnya dan merawat Dian. Pernah papa memergoki kedatangan Dokter Nita, papa langsung marah dan menghajar Dian sesudah Bu Nita pergi. Papa memang tidak pernah menyukai segala sesuatu tentang dian.
“Dia dehidrasi dan kepanasan, dan kemungkinan saat ia pingsan kepalanya membentur benda tumpul”. Terang Bu Donita, sambil membersihkan luka Dian dengan cekatan, dan menempelkan Aid Band diatas luka. Dibukanya tas kerja yang selalu di bawa seorang dokter kemanapun mereka pergi, berisi segala macam peralatan medis dan obat-obatan. Mengambil sebuah botol kaca kecil, dan menusukkan jarum suntik lalu menarik badan jarum sunti. Setelah menyuntikkan suntikan itu ke lengan Dian, Bu Nita mendudukannya. Ditepuknya pipi dian, menyuruhnya untuk sadar. Sementara oma opa ada didepan dian, hanya diam saja.
Dian membuka mata, dan segera meminum air putih yang disodorkan Bu Nita. Tangan dian masih gemetar, Bu nIta membantu meminumkan air putih itu. Dihabiskannya minuman itu, Dian meraba dahinya dan masih merasakan pening.
“Tidak apa-apa?” Tanya Bu Nita.
“Tidak”. Sahut Dian lemah. Ia menyadari bahwa ia berada di rumah nenek, dan segera berdiri untuk pamit tapi dokter menyarankan agar Dian tinggal 30 menit lagi agar obat yang disuntikkan bekerja. Oma memanggil Bik Iyem untuk mengantar Dian ke kamar tamu. Rasa kantuk menyerangnya mungkin akibat pengaruh obat.
Diruang tamu, Dokter Nita pamit dan meninggalkan beberapa tablet obat pada Oma.
“Dian anak yang lemah secara fisik, dia butuh perhatian intensif”. Terang Bu nIta.
“Saya mengerti”. Sahut oma sambil mengantar Bu Nita keluar rumah.
Bik Iyem membawakan makan siang untuk dian tapi hanya sedikit yang ia makan. 45 menit berlalu, Doni tiba-tiba berdiri dan mengajaknya segera pulang.
“ Kenapa kamu selalu menyusahkan saja”. Semprot Dony sambil berlalu meninggalkan Dian. Dian cepat-cepat menyusul Dony. Dian mencari oma opa.
“ Terima kasih oma opa, maaf saya selalu merepotkan”. Mereka tidak menimpliya, Berbeda sekali saat Dony yang berpamitan, mereka berpesan agar dony sering-sering menjenguk mereka. Dian mendesah panjang, dan mereka pun segera pulang.
Didalam mobil, Dony kembali menyalahkan Dian karena dia akan terlambat untuk latihan bola basket. Seperti orang kesetanan, Dony memukul-mukul setir. Dian sangat ketakutan dan meminta maaf. Tapi Dony tetap uring-uringan. Sesampai dirumah, Dian langsung masuk kamarnya. Dony mengadu pada mamanya yang kebetulan dirumah. Mama kemudian naik keatas, tanpa mengetuk pintu langsung masuk ke kamar Dian.
“Kamu kenapa selalu menyusahkan?”. Serangnya kearah dian, sambil mencengkram kerah baju Dian. Dian hanya diam, terlalu biasa menerima perilaku ini tapi ia tetap saja ketakutan dan menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar