Saat pertama kali melihat anak itu, timbul rasa iba yang luar biasa. Ingin sekali merengkuhnya, memeluknya, dan menenangkannya. Matanya sayu, kosong, tubuhnya kurus lemah, dan tubuh penuh luka memar dan gores. Dalam dinginnya lantai penjara, ia duduk dipojok ruang, kepalanya menelungkup diatas lututnya, sambil terisak. Sipir penjara memanggil namanya, tapi ia tak bergeming, dengan geram diseretnya anak itu karena dengan begitu pekerjaannya lebih mudah dan cepat. Tak ada perlawanan hanya ketakutan yang terpancar dari rautnya. Beberapa polisi mendudukannya diruang interogasi, menanyai atas kejahatan yang ia lakukan, dia hanya menggeleng ketika ditanya. Tak pelak tamparan dan tendangan ia terima, terjatuh, tersungkur, dan akhirnya tidak bangun.
Naluri ibu bu Rose menguap, ia marah dan meminta semua orang keluar. Beberapa menolak perintah itu, dengan mengancan akan melaporkan ini ke dewan perlindungan anak, merekapun menurut saja dengan tatapan marah.
“Sayang, ayo bangun”. Kata Bu Rose sambil mendudukkan tubuh dian dipangkuannya. Pemandangan yang sangat menyedihkan, hidungnya berdarah, pelipisnya sobek, dan terdengar rintihan lemah dari mulutnya. Dia tersadar dari pingsannya dan menangis ketakutan.
“Tolong jangan sakiti saya, saya tidak tahu menahu masalah itu tetapi mereka tetap saja memukuli saya. Ampun!”. Pintanya sambil sesenggukan, tangannya melingkar dipunggung Ibu rose, erat sekali seakan benar-benar meminta perlindungan.
“Jika kamu mau mengakui, mereka tidak akan memukulimu lagi”
“Tapi saya tidak melakukannya Bu, saya bersumpah demi Tuhan! “. Isaknya sambil membersihkan sisa darah dari bibir bawahnya yang sedikit hancur akibat pukulan dari polisi tadi.
Menghela nafas panjang, diberdirikan Dian dan membopongnya keluar ruang interogasi, beberapa petugas wanita yang berjaga membantu ibu Rose tapi karena babak belur, Dian roboh. Mereka segera membawanya ke klinik rutan. Dokter yang berjaga merujuknya ke rumah sakit pusat, luka dalam disnyalir ada karena beberapa saat yang lalu Dian muntah dari hidung dan mulut.
Didalam mobil ambulans, tubuh Dian sudah dipasangin selang dan beberapa alat pacu jantung. Suster terus memantau keadaannya. Ibu Rose juga ikut serta, tak terasa airmata meleleh dari pipinya. Diperhatikannya Dian, anak itu putih bersih, rambutnya coklat terurai panjang, wajah ayunya tidak memudar meskipun luka-luka itu menggores wajahnya. Kuku-kuku tangan beberapa terlepas, betapa kejam penyiksaan yang dilakukan teman-temannya demi membuatnya mengakui kesalahan yang ia tidak akui melakukannya. Tidak adakah cara yang lebih manusiawi dalam proses interogasi saat jalan keluar tidak ditemukan. Ibu Rose tiba-tiba merasakan keperihan yang luar biasa, bagaimana jika anaknya diperlakukan seperti itu sementara orang-orang yang tahu hanya menonton tanpa berbuat sesuatu.
Tiba-tiba alat pacu jantung berbunyi, nafas dian tersengal-sengal. Suster segera memberikan suntikan dan menghidupkan alat pacu jantung. Bingung karena hanya suster itu sendiri yang bekerja, Ibu Rose segera memegangi kedua tangan dian karena anak itu kejang. Suster berusaha menyetrum dian dengan alat pacu jantung, agar ia segera tersadar dan mengembalaikna nafasnya yang tidak beraturan. Darah mengalir keluar dari mulutnya, sampai baju yang dikenakan menjadi merah. Bau segar darah tercium, Bu Rose hancur hatinya menyaksikan perjuangan hidup seorang anak remaja yang tidak diketahui asalnya. Setelah beberapa menit penuh perjuangan, sampailah di rumah sakit. Beberapa dokter segera membawanya ke ruang operasi. Ibu Rose berada diruang tunggu, bingung apa yang harus dilakukannya. Ia mengeluarkan hapenya dan menelpon ke kantornya.
“Hallo, bisa saya berbicara dengan pak Tomy”
“Baik Bu, segera saya sampaikan”. Jawab suara perempuan diujung sana yang tahu betul siapa yang menelpon.
“Hallo, saya Tomy. Maaf saya berbicara dengan Ibu siapa?”
“Pak Tomy, Ini saya Rose. Saat ini saya berada dirumah sakit, saya sedang menunggui seorang anak yang baru saja masuk ruang interogasi dan saat keluar ia hampir mati. Saya harap kita membicarakan masalah ini dan jika tidak, saya tidak segan membawa masalah ini ke dewan perlindungan anak.”
“Maaf Ibu Rose, saya tidak ingin berlaku tidak sopan, tapi saya harap Ibu Rose tidak mencampuri kasus yang saya tangani. Apa yang ia lakukan merupakan pelanggaran hokum yang berat dan dengan cara itu dia akan mengakui semuanya”. Sahut pak Tomy dengan nada bergetar emosi.
“Kalau ia mati hari ini karena pengroyokan tak bermoral yang Bapak Tomy dan kawan-kawan bapak, saya tidak segan akan memperkarakan ini dan membuat balasan yang setimpal”. Tandas Bu Rose sambil mengakhiri pembicaraannya ditelpon. Entah kenapa ia ingin sekali melindungi anak itu, Ibu rose baru saja melihatnya beberapa hari yang lalu tapi selama itu Ibu Rose melihatnya mendapat perlakuan tidak adil. Beberapa polisi muda mulai menggodanya, memegang tubuhnya saat ia digiring melewati ruangan mereka, Dian selalu mengelak dan itu membuat polisi-polisi muda semakin giat mendekatinyadan jika Bu Rose melihat hal itu, mereka segera berhenti.
Dokter baru keluar dari ruang operasi, tapi ia terlihat tergesa dan saat Bu Rose menyetopnya untuk bertanya, si Dokter tidak menjawab dan kembali lagi setelah mengambil beberapa kantong darah. Bu Rose menduga pasti sesuatu yang buruk terjadi, Bu Rose berdoa semoga Dian tidak mengalami hal yang serius didalam. Ibu Rose berdoa sekhusyuk orang berdoa, baru kali ini Ibu Rose merasa harus meminta pada Tuhan pertolongan setelah sekian lama berhenti berharap dan berdoa karena kecewa akan hal-hal yang terjadi. Hari yang melelahkan, tanpa sadar Ibu Rose tertidur dikursi tunggu ruang operasi. Entah sudah berapa lama dan akhirnya lampu operasi diatas pintu mati, tanda bahwa kegiatan operasi didalam selesai. Dokter yang tadi dilihat Bu Rose keluar pertama kali.
“Maaf apa anda keluarga dari saudara Dian?”
“Bukan pak, tapi saya bertanggung jawab atas dia”
“Hmm, baik Bu. Operasi berhasil, kami menemukan tulang rusuknya patah dan gegar otak. Ini akan membutuhkan waktu 3 minggu untuk membuatnya seperti semula. Dia koma, dan akan sadar beberapa hari kemudian, saya tidak tahu apa ini kecelakaan atau kesengajaan tapi hantaman benda tumpul yang menyebabkan ini”. Terang pak dokter panjang lebar.
“Baik pak, ini akan menjadi bukti untuk mebuat jera beberapa orang yang sengaja menyebabkan ini. Terimakasih”. Rangkul Bu Rose, tanda terimakasih karena nyawa Dian masih tertolong.
Dirumahnya, Ibu Rose segera membasuh diri dan mulai makan, Ibu Rose terus memikirkan Dian dan berjanji akan menanyai asal usulnya saat Dian sudah sadar. Ibu Rose segera menelpon rekan-rekannya dikantor dan menyuruh memeriksa laporan criminal yang membuat Dian ditangkap dan mengurus semuanya. Ibu Rose berpikir Dian tidaka akan melakukan hal-hal yang dituduhkan karna Ibu Rose melihat kejujuran dimatanya.
Dirumahnya, Ibu Rose segera membasuh diri dan mulai makan, Ibu Rose terus memikirkan Dian dan berjanji akan menanyai asal usulnya saat Dian sudah sadar. Ibu Rose segera menelpon rekan-rekannya dikantor dan menyuruh memeriksa laporan criminal yang membuat Dian ditangkap dan mengurus semuanya. Ibu Rose berpikir Dian tidaka akan melakukan hal-hal yang dituduhkan karna Ibu Rose melihat kejujuran dimatanya.
Esoknya Ibu Rose sudah berada dikantornya, saat berpapasan dengan pak Tomy diruang tengah, Pak Tomy membuang mukanya. Ibu rose tersenyum sambil mempersilahkan pak Tomy berjalan duluan. Ini membuat Pak Tomy geram, Pak tomy tahu bahwa Ibu Rose akan melakukan sesuatu yang ia sendiri kadang akui akan membuatnya tidak bertahan dengan pendiriannya. Ibu Rose masuk ke ruang pendataan criminal dan membaca file Dian. Dian ditangkap dirumah skontrakan milik pak Akhmad karena dituduh membantu Mafia Andrew, kelompok mafia paling kuat yang beroperasi dalam perdagangan obat-obatan, dengan mengedarkannya disekolah-sekolah di Jakarta. Dian sudah menjadi incaran, dan saat ia ditangkap ia membawa sabu seberat 1kg. Itu laporan yang Ibu Rose baca, tetapi ada yang janggal pada tanggal tersebut karena dian ditangkap 2 minggu yang lalu sedangkan Ibu Rose melihat Dian disini 5 hari yang lalu. Kemanakah sisa hari tersebut, sedangkan rutan ini adalah rutan yang menerima tindak pelanggaran criminal utama yang semua tersangka ditempatkan pertama kali disini. Ibu Rose mulai curiga, ia memeriksa data dikomputer tentang profil Dian. Tertulis bahwa Dian lahir 17 tahun silam di Jerman, dan menetap tidak tentu. Pernah tinggal dirumah belajar daerah cakung pada saat berusia 14 tahun, bekerja di restoran, dan tinggal bersama Ibu Aldi didaerah petamboran. Jika tidak salah daerah itu merupakan daerah kumuh dimana para pemulung berkumpul membentuk kelompok sendiri. Nampaknya tidak ada data-data tentang dari mana ia berasal, dan mungkin orangtua kandungnya. “Jika dilihat dari cirri-ciri fisiknya, Dian merupakan peranakan Indo-Jerman yang bisa disimpulkan orangtua kaya yang tinggal diluar negri atau masih di Indonesia”. Batin Ibu Rose sambil menghubungkan semua informasi yang terkumpul.
Setelah beberapa hari hanyut dalam urusan menginvestigasi kasus Dian serta informasi pribadi. Ibu Rose mendapat telpon dari rumah sakit bahwa Dian telah siuman. Ibu Rose bergegas menuju Rumah sakit. Bau obat-obatan yang khas menyeruak saat Ibu Rose mulai memasuki area Rumah sakit. Ia tiba dikamar Dian, dilihatnya anak itu melamun memandang keluar jendela. Selang-selang terpasang, dan ia Nampak ringkih. Ibu Rose mendekati dian, sungguh sangat menyedihkan wajah Dian terdapat jahitan dipelipis, bibirnya membengkak, dan sisa-sisa luka kering di pipi dan tangannya.
“Dian, tidak apa-apa nak?”. Tanya Ibu Rose sambil membelai kepalanya dengan hati-hati agar tidak menyenggol luka jahitannya. Dain hanya diam, mengamati Ibu Rose secara mendalam, menanyai dirinya apakah Ibu Rose termasuk orang yang tidak akan menyakitinya. Setelah itu, ia hanya menggeleng lemah. Ibu Rose menggengganm tangannya, menciumnya, dan mengelusnya.
“Kamu tahu, saya tahu kamu tidak bersalah dan kamu akan segera keluar dari penjara. Sudah kamu putuskan akan tinggal dimana? Karena saya tahu kamu tidak ada tempat untuk dituju”.
“Saya tidak tahu, saya berharap masih ada orang yang bersedia member saya tempat untuk berteduh dan makan paling tidak 2 kali sehari, karena saya lelah hidup dijalanan”. Sahutnya tanpa ada rasa ingin dikasihani. Mendengar jawaban itu, Ibu Rose menangis haru mendengarnya. Bagaimana tidak, Ibu Rose sadar bahwa mungkin diluar sana banyaka anak yang butuh perhatian dan pertolongan seperti yang Ibu Rose hadapi sekarang.
“Jika doanya sesederhana itu, itu sudah terkabul detik ini juga. Kamu tahu dimana akan tinggal”. Senyum Ibu Rose sambil memandang kearah Dian.
Dalam hidup Dian, inilah pertama kali ia merasakan perhatian dan kasih sayang seorang ibu yang ia rasakan. Ibu Rose merawat dan bersikap padanya dengan sangat baik. Ia menangis menyelami jalan hidupnya selama ini yang penuh dengan kekerasan dan trauma. Orangtuanya tidak begitu memperlakukannya dengan baik, terlebih setelah peristiwa kematian adiknya 5 tahun silam saat ia berusia 12 tahun. Mamanya menyalahkan dirinya dan menangis sepanjang hari. Begitu juga papanya menghajarnya setiap waktu jika teringat Dony telah tewas dengan cara seperti itu.
Dian memejamkan matanya, mencoba mengingat peristiwa yang mengerikan itu. Ia dan keluarganya sedang berlibur dipuncak, menyewa Vila. Kakak Rey, Kakak Tian, Mama, Papa, Nenek, Kakek, sedang berada di Villa untuk berbenah setelah sampai. Sedangkan Dony langsung berlari ke lapangan basket di sisi villa, Dony bermain dengan lincah, mendrible bola, memasukannya ke keranjang basket berkali-kali. Dian masih diluar membawa barang-barang dari mobil ke Villa. Saat Dian sudah selesai membawa masuk barang-barang, Dony memanggilnya. Dian menurut saja karena ia memang sering disuruh-suruh.
“Ayo ikut saya!”
‘Kemana Don, mama papa menyuruh saya mebersihkan villa setelah saya selesai dengan barang-barang ini”.
“Ah, Bodo amat. Ayo cepat ikut saya”. Seret Dony sambil membawa bola basket ditangan kanannya. Dian sudah merasakan perasaan buruk terhadap ajakan Dony. Dony memang terkadang berbuat kejam terhada Dian. Dian ketakutan dan berdoa semoga perasaannya salah. Benar saja Dony membawanya ke tepi tebing dibelakang villa. Dian gemetar, karena Dony tidak segan berbuat hal-hal diluar dugaan. Rupanya Dony sudah mengetahui daerah villa tersebut sehingga ia tahu kemana harus berjalan.
“Sekarang kamu berdiri disitu dan menghadap saya, ayo!”. Tunjuk Dony kepada Dian, Dibelakang dian adalah jurang. Dian tidak mau dan menangis.
Dony tertwa terbahak-bahak, “Hey, dengar apa saya akan mendorong kamu dari depan ke jurang itu? Hah? Saya tidak akan. Jangan kuatir, ini hanya permainan”. Dian akhirnya menurut. Dian berdiri 2 meter dari dony, dan tanpa aba-aba Dony melemparkan Bola Basketnya kearah dian.
“Tangkap!”. Seru Dony, dian menangkapnya dan lemparan bola terlalu jauh hingga Dian mundur beberapa meter, ia menyadari bahwa ia berada 30 cm ditepi tebing. Saat dian akan melangkah maju, Dony melarangnya.
“Jangan melangkah kedepan sebelum saya perintahkan”. Teriaknya dengan lantang. Dian sangat ketakutan karena ia tidak tahan dengan ketinggian dan Dony pun tahu hal itu.
“Don, tolong jangan lakukan ini pada saya”, ratap dian.
“Hahaha, kamu tahu apa yang kamu lakukan pada saya beberapa hari yang lalu? Kamu membiarkan saya tidak terpilih seleksi tim inti bola basket disekolah, gara-gara saya menunggui kamu pingsan di rumah oma opa”.
“Saya meminta maaf, saya menyesal”.
“ahhh..Terlambat, kini kamu harus merasakan kekecewaan saya”, sahut dony geram sambil berjalan kearah Dian. Dian takut sekali, Dony mendorong tubuh Dian ke jurang tapi hanya untuk menakuti-nakuti dian saja tetapi pada saat itu kaki Dony terantuk Batu, dan tubuh Dian benarbenar terdorong ke jurang. Dony kaget dan segera menggapai tangan kanan dian secepat mungkin. Dian bergelantungan ditepi tebing, kepalanya berdarah terkena batu yang berada didinding tebing.
“Diaaaaaaaaaaaan, Ayo cepat naik!” sambil Dony berusaha menarik Dian keatas, dian tidak berdaya, rasa pusing dan mata mulai kehilangan pandangan dirasakan dian. Dia sudah tidak mendengar apa yang dony katakan. Dian segera berusaha untuk tetap sadar, dan pada saat itu Dony mulai menariknya tapi naas pegangan Dony pada akar kayu yang terjuntai disampingnya putus. Tidak dirasakan lagi, gelap semuanya, mereka berdua berada didasar jurang. Hujan deras mengguyur dan langitpun semakin hitam. Dian berada dibawah alam sadarnya, seluruhnya putih, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan, ia mencoba bersuara tapi suaranya tidak berbunyi. Ia berlari kearah barat dan melihat sebuah sinar, dilihatnya seorang anak laki-laki kecil menangis sendirian. Dian menghampirinya, ia terkejut karena itu adalah Dony kecil. Dony yang masih sangat manis kepadanya sampai mama papanya bertindak semena-mena pada dian sehingga dony meniru perilaku mama papanya.
“Dony sayang, kenapa? Jangan menangis, kakak disini sayang”, rangkul dian dan membiarkan Dony kecil tenand dipelukannya.
“Saya takut, gelap sekali disini, tidak ada siapapun. Mama papa juga tidak terlihat”.
Dian menenangkannya, dan Dony pun jatuh tertidur dipelukannya. Tidak berapa lama Dony pun bangun dan berlari meninggalkannya, Dian mengejar Dony tapi Dony pun tak terlihat. Dian pun tidak ingat lagi apa yang terjadi.
Selang 5 jam berlalu polisi dan TIM SAR diatas tebing sana melakukan pencarian. Menyisir lokasi dan menyimpulkan bahwa kedua anak itu telah jatuh ke tebih karena ditemukan percikan darah di batu tebing. Mama sangat shock dan berharap Dony selamat, dan tidak terjadi apa-apa. Kak Rey menenagkan mama, sedangkan oma dan opa berada didalam rumah, berdoa memohon keselamatan.
Saat dian membuka mata, dia mendapati tubunhya dirumah gubuk tua. Tubuhnya terasa sakit luar biasa, tangannya tak bisa digerakkan, punggungnya kaku, nampaknya beberapa bagian tubuhnya patah. Muncul serang nenek tua renta, menhghampiri Dian.
“Nak, kamu selamat dan saya tahu kamu tidak bisa merasakan beberapa bagian tubuhmu”, terang nenek itu sambil meminumkan jamu pahit ke dian. Dian tersedak, tenggorokannya tida bisa menelan air, ia lalu menangis.
“Nek, mana adik saya?”. Tanya dian dengan terbata-bata sehingga si nenek harus mendekatkan telinganya ke mulut Dian. Setelah menangkap maksud dian, nenek itu terdiam sambil menghela nafas panjang. Lalu berkata, “Nenek dan penduduk kampong ini telah berusaha menyelamatkannya dengan menghambat pendarahan menggunakan obat-obatan tradisional tetapi..”.
Nenek itu tidak meneruskan perkataannya dan dian tahu bahwa ia telah mendapat jawaban dari keadaan terburuk itu. Ia terisak tapi tak bersuara, dian tak mampu menangisi kenyataan ini, meskipun Dony sering tidak bersikap baik padanya tetapi ia sangat menyayanginya.
“Dimana sekarang dia, nek? Saya ingin melihatnya untuk terakhir kalinya”, pinta Dian. Dian memanggil orang-orang yang berada didepan rumahnya, dan menyuruh mereka membawa Dony kedalam. Kemungkinan diluar, orang-orang baru saja memandikan dony dan menjaga jenasahnya sampai esok. Kebiasaan ada t orang-orang dikampung, jika ada yang meninggal jenasah wajib ditunggui karena menhindari hal-hal buruk terjadi. Mereka masuk dan membuka penutup yang menutupi seluruh tubuh dony. Dian dapat melihat wajah Dony yang sobek di pelipis, dan kepala.
“Dia sudah tidak kesakitan, ikhlaskan dia”, bujuk nenek ke dian yang mulai histeris menangis. Suaranya akhirnya keluar juga setelah itu dian sudah tidak ingat apa-apa lagi.
TIM SAR sudah menghentikan pencarian karena hujan deras mengguyur, lalu si pemimpin regu mendekati papa, “besok pagi sekali kami akan segera turun, saat ini kantor pusat sedang mengirimkan peralatan”.
“Baik Pak, jika itu memang yang terbaik”, sahut papa pasrah. Meledaklah tangis mama mendengar keputusan itu, tak kuasa membayangkan dony terjatuh dan hanyut. Ya yang ada dipikiran mama papanya adalah Dony, anak emas mereka.
“Tenang ma, Dony akan baik-baik saja. Doni anak kuat, papa sudah ajarkan semuanya tentang bertahan hidup”, hibur papa pada mama, meskipun hatinya yakin bahwa tidak mungkin ada yang hidup jika terjatuh dari ketinggian setinggi ini.
Dari kejauhan kak tian lari tergopoh-gopoh menanyakan keadaan 2 adiknya pada TIM SAR, memprediksi keadaan adik-adiknya pada mereka.
“Pak, malam ini juga kita harus turun! Saya yakin mereka butuh pertolongan atau bahkan salah satu atau keduanya sudah mati kalau kita tidak segera bertindak!”, dengan setengah berteriak dan menangis, Kak Tian mencoba meyakinkan TIM SAR.
“Saya harap anda bersabar, malam ini terlalu bahay karena guyuran hujan dan alat-alat pencarian dan keselamatan yang tidak memadai”, terang si ketua SAR.
“Saya tidak peduli, kedua adik saya dalam bahaya. Jika itu tidak mungkin bagi anda semua, maka saya akan mencarinya sendiri”, kata Dony sambil menyeka airmatanya. Kak Rey datang dan menenangkan kak Tian, dan membawanya menjauh. Semua malam itu, dibawah guyuran hujan serta kilat-kilat yang menyambar, ditambah dinginnya udara pegunungan, berdoa tak henti-hentinya sepanjang malam, memohon keselamatan.
Esoknya pagi-pagi sekali TIM SAR menyusuri dasar lembah menggunakan perlengkapan yang lengkap setelah berusaha menuruni tebing itu sekitar 2 jam yang lalu. Kak Tan turut serta dalam pencarian itu sementara mama papanya menungguinya di Villa sambil menunggui kabar darinya. Tidak ada tanda-tanda ditemukan kedua adiknya. Mereka segera menuju kearah barat yang terdapat perkampungan kecil, dan bertemu dengan penduduk sekita. Kak Tian sempat bertanya mengenai jatuhnya 2 orang dari tebing sekitar kemarin siang, dan penduduk itu tidak tahu menahu. Kak Tian bersama Tim SAR masuk ke dalam perkampungan itu dan disambut dengan kepala desa yang sudah tahu pasti mencari dua anak tersebut. Kak Tian dan Tim SAR dipersilahkan duduk dib alai rumah Pak Kepala Desa dan segera memberitahu bahwa memang mereka mendapati 2 anak tersebut tersangkut dipohon-pohon yang tumbuh menyamping di dinding tebing. Kak Tian pun tidak sabar dan ingins segera menjumpai 2 adiknya. Melihat betapa tergesanya kak Tian, Pak Kepala Desa bertanya siapakah kak Tian ini, dan kak Tian yang lupa memperkenalkan diri mengatakan bahwa ia adalah saudara mereka. Pak kepala Desa lalu menghela nafas panjang, ia pun berbisik pada ketua tim SAR mengenai kematian Dony. Lalu mereka semua menuju rumah nenek Abdi, yang merawat Dian. Nenek Abdi merupakan tetua desa yang disegani dan terkenal bisa menyembuhkan orang, semacam tabib. Didepan rumah Nenek Abdi terbentang sekat kain berbentuk segi panjang, seperti bilik. Pada saat Kak Tian memasuki pekarangan Nenek Abdi, ia penasaran dengan sekat kain itu dan mendekat tetapi pak kepala desa dengan cepat menarik tangannya. Kak Tian mengurungkan niatnya, ia kembali teringat dengan dua adiknya.
“Asalamualaikum, nenek Abdi”, sapa pak kepala desa.
“Walaikumsalam, masuk pak”, sahut nenek abdi. Kak Tian pun mendahului pak kepala desa masuk kerumah nenek Abdi, ia segera mengutarakan niatnya bertemu dengan dua adiknya. Nenek Abdipun mengantar kak Tian dan beberapa TIM SAR ke kamar Dian dirawat.
“Dian!!”, jerit kak Tian. Tidak percaya bahwa adiknya masih hidup. Dengan pelan ia mengusap rambut Dian, dan Dian pun terbangun.
“Kakak, kak tian…Dony, Dony,..”, ratap Dian tak kuasa menahan tangis. Kak Tian menenangkannya dan menyadari bahwa dia tidak melihat Dony. Lalu TIM SAR masuk dan langsung menangani Dian. Kak Tian berlari ke beranda rumah nenek ABDI dan melihat pak kepala desa beserta TIM SAR mengerubuti sekat kain itu, tanpa beralaskan sepatu ia berlari ke sekat itu dan melihat adiknya terbujur kaku. Kak Tianpun roboh, pak kepala desa memeganginya dari belakang, nenek ABDI berusaha menenangkannya.
“Tidaaaaaaak, ini tidak mungkin!! Dony, ayo bangun. Kamu harus bangun, mama papa menunggumu”, jerit Dony sambil bercucuran airmata memandangi jenasah adiknya tersayang sudah terbungkus kain kafan. Memang penduduk setempat berniat menguburkannya jam 9 pagi ini apabila pihak keluarga belum ada. Kak Tian terduduk lemas disamping amben kayu sambil mengelus-elus kepala Dony. Hatinya tidak karu-karuam merasakan kehilangan ini, dan berpikir bagaimana dengan keluarganya, mama papa, oma opa, dan semuanya. Setelah tenang, Donipun beranjak dan menemui Dian dikamarnya. Tatapan dian nanar dan sedih, dan kak Tian pun berkata pada dian bahwa ini memang yang terbaik. Bahwa manusia tidak bisa menghindar jika memang telah habis waktunya dibumi. Dian hanya terisak mendengarkan kak Tian.
Kini tiba saatnya pulang, Dian dengan ditandu TIM SAR begitupun juga Dony berpamitan dengan nenek ABDI. Dian memeluk nenek ABDI dan mengucapkan banyak terimakasih.
“Cah Ayu, nenek berharap kamu cepat sembuh. Kamu main kesini ya kalau sudah sehat”.
“Iya, nek”, sahut Dian dengan pelukan erat. Dian sebenarnya takut untuk pulang, apalagi dengan kematian Dony yang tragis. Ingin rasanya ia tidak ditemukan selamanya dan tinggal dengan nenek ABDI yang baik itu. Dian telah bercerita banyak pada nenek ABDI perihal hal itu dan nenek ABDI menyayangkan akan sikap mama papa Dian. Lalu semuanya pun berpamitan dan meninggalkan desa itu.
Mereka sudah diatas tebing dan disambut mama papa dengan muka lesu karena kelelahan, dan segera menuju 2 tandu yang akan dimasukkan ke mobil ambulans. Dengan hati yang luar biasa takut, mama mencoba memeriksa tandu pertama dan mendapati Dony terbujur kaku. Ia menjerit dan histeris, papa segera datang dan merangkul mama. Sedangkan mereka sudah tidak menghiraukan keadaan Dian, tapi mereka tahu Dian selamat.
“Ya Tuhan, kenapa ini semua terjadi. Apakah aku ibu yang buruk sehingga anakku pergi untuk selama-lamanya”, jerit mama sambil berusaha membangunkan Dony.
Setelah menjalani perawatan serta operasi bedah beberapa hari ini, Dian pun siuman. Dia merasakan tubuhnya kelu, banyak selang diatas tubuhnya, dan alat bantu oksigen. Kak Tian menemaninya, sementara itu ia tidak ingat sudah berapa hari ini ia koma. Tangan kak Tian, mengenggam tangan Dian sepanjang malam ini. Kak Tian merasakan gerakan lemah tangan Dian dan terbangun.
“Sayang, kamu sudah sadar? Sebentar kakak panggil Dokter dulu”, dengan setengah berlari Kak Tian menuju ruang dokter. Beberapa dokter datang dan memeriksa Dian. Setelah itu, tinggalah kak tian dan Dian berdua. Kak Tian berusaha membuat Dian terjaga, dan memberitahu bahwa semuanya baik-baik saja. Tiba-tiba dian teringat tentang Dony, ia pun menangis sedih. Air mata mengalir dari pelupuknya, kak Tian menyekanya dengan hati-hati.
“Dian, ingat yang kak Tian bilang bahwa kita harus ikhlas menerima ini semua. Jangan takut, kak Tian ada disini”, kata kak Tian seolah-olah dapat membaca ketakutan dian jika ia dipersalahkan atas kematian Dony.
Siang harinya, mama papanya datang. Tanpa mengetuk pintu dan sangat kasar sekali, mamanya menghampiri Dian dan sungguh diluar dugaan mencengkram kerah baju Dian. Kak Tian yang sedang mengupas apel, kaget dan berusaha menjauhkan mamanya dari dian. Namun terlambat, cengkraman mama terlalu kuat dan Dian pun mengikuti gerakan tangan mamanya. Alat oksigen pun terlepas dari hidungnya, rasa sakit karena gerakan kasar dan tiba-tiba menjalar disekujur tubuh dian. Papa hanya menyaksikan.
“Kamu adalah pembunuh, gara-gara kamu Dony mati”, jerit mama. “Saya tidak akan tinggal diam dan akan mengusut ini semua ke jalur hukum”, imbuh mama sambil berusaha menarik Dian.
“Mama, ini Rumah sakit dan hentikan sikap mama ini”, sambil kak Tian berusaha melepaskan cengkraman mama. Mama semakin gusar dan menjerit-jerit kearah Dian. Beberapa suster yang melintas, melihat kejadian itu dan segera masuk. Memisahkan mama dan Dian, sementara suster yang lainnya memasang kembali alat-alat yang terlepas. Kak Tian membawa mama keluar kamar.
“Tian, lepaskan mama. Kamu tidak tahu bagaimana hancur hati mama menerima ini semua. Saya yakin dian sengaja mendorong Dony ke jurang dank arena ketakutan ia pun bunuh diri”, kata mama dengan suara meninggi.
“Ma, tidak bisakah kita ikhlas menerima ini semua? Dian masih hidup ma, dan diapun sangat terpukul dan saat ini ia masih sakit”. Mama tidak menggubris dan meninggalkan kak Tian yang masih shock dengan sikap mama baru saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar