SATU
Dia lebih dari sahabat bagiku. Dia kuat, aku lemah, dia tegas, aku diam, dia petualang, aku si kutu buku. Betapa berbedanya kami dari segala macam, tak ada satu pun kesamaan tapi kami telah berteman seumur hidup kami. Dia tetanggaku, sahabatku, dan kakakku. Megan Elsatte, cewek Indo latin, yang berparas khas orang latin, ayu dengan rambut hitam sebahu, badannya langsing rupanya ia menjaga benar pola makannya dan suka berolahraga, dan aku, Dian Cowel, gadis indo jerman dengan rambut dan mata coklat. Ini kelebihanku yang tidak kalah cantik dari megan meskipun aku tidak menyadari ini seperti Megan yang mengetahui kecantikannya dan mempergunakan untuk mengencani cowok-cowok keren. Aku tidak terlalu peduli dengan tren atau apapun yang berkembang bagiku aku adalah aku, dan pendidikan adalah tujuanku, sedangkan Megan seolah dia orang yang paling gaya dan paling modis.
Jika kami ditengah keramaian, ask u yang paling kentara, seperti ubur-ubur yang bersinar di dalamnya lautan yang tidak ada cahaya. Meskipun begitu, ia sahabatku yang selalu melindungiku, mengajariku, dan menyuruhku untuk berhenti menangis. Aku menyayanginya lebih dari apaun, setidaknya aku mengatakan ini karena aku belum punya pacar. Megan menyayangiku lebih dari pacar-pacarnya, aku tahu itu saat ia meninggalkan Mat, jagoan sepakbola, karena melihatku pulang sendirian saking inginnya mencoba naik metro mini pertama kali. Ia meninggalkan Mat di mobil dan berlari menyusulku, aku heran kenapa dia melakukan ini, bukankah Mat yang selama ini ia kejar sampai ia rela bekerja di liburan semester demi membeli gaun yang luar biasa mahalnya bagi kami, pelajar. Hal yang tidak masuk akal terlontar dari bibirnya, entah hanya untuk menakutiku atau dia memang benar-benar ingin melakukannya.
“Aku baru saj membaca Koran ibu kota bahwa kasus yang mengerikan terjadi pada pelajar adalah mereka tergencet didalam metromini karena berdesakan, kemudian ada pencopet memanfaatkan keadaan ini dengan mengambil dompet, HP, dll”, terangnya panjang lebar tanpa ada ekspresi. Aku melongo ketakutan. Dia melanjutkan ceritanya tanpa menatap raut mukaku yang mulai meringsut.
“Lalu korban akan pingsan karena kehabisan oksigen, lalu seseorang yang tertarik pada penampilan korban akan membawanya turun disuatu tempat sepi, dan memperkosanya, lalu meninggalkannya”, secara tiba-tiba ia memalingkan muka ke arahku sambil membuat ekspresi serius yang mirip seorang korban menceritakan kisahnya sendiri. ask u terjatuh, aku berdiri ketakutan, lalu memegang tangannya. Ia memelukku dan berbisik, “Masih mau naik metromini sendirian?”
Aku menggeleng dengan cepat, dan menyarankan bagaimana kalau naik taksi saja. Dia akhirnya tertawa mendengar kataku barusan. Dengan langkah tenang, ia mengamit tanganku dan mengajakku naik ke mobil Mat. Dia didepan bersama Mat, sedangkan aku dibelakang, masih shock mendengar cerita megan barusan. Tidak berperasaan sekali ia menceritakan tentang betapa bahayanya metromini bagi orang-orang sepertinya. Megan masih seperti menahan tawa dan menyodorkan botol minumnya kearah ku, aku menghabiskannya tak tersisa dan menyandarkan tubuhku ke kursi mobil, ‘Ah betapa nyamannya mobil ini,’pikirku.
Sementara mat, berbicara isyarat dengan Megan. Aku hanya bisa membaca ucapan bibirnya hanya satu kata “What?” sambil meminta penjelasan pada Megan. Megan membisikannya sesuatu yang mungkin hal terlucu yang Mat dengar sehingga Mat terkikik panjang, Megan memukul pundaknya menyuruhnya diam sambil melihat kearahku, takut jika aku mencurigainya atau apapun itu. Aku tidak peduli dan memejamkan mata.
Tiga puluh menit kemudian, Megan mengguncang-guncang kan bahuku. Ternyata sudah sampai didepan rumah, bersiap mengambil tas dan jaketku, Megan dan Mat berciuman didepanku. “Yuuks, It’s disgusting!”, pikirku sementara pintu mobil masih terkunci. Bibir mereka terus bertautan seolah-olah hanya mereka berdua yang ada di mobil.
“Guys, can you please dropp me off? And you can go on your stuff”, akhirnya aku bersuara. Mereka berhenti dan melihatku, tertawa seperti aku hanyalah seorang anak kecil yang meminta sesuatu konyol. “Opps, we’re caught!”, kata Megan diiringi tawa mereka.
“Well, Honey..I’ll see you later”, Putus Megan sambil mengecup bibir Matt sebelum ia keluar.
“Oh Come on! Give me a break!”, kataku dengan putus asa, seolah berada ditempat terlarang yang hanya berisi hal-hal seperti itu.
“Okay, Okay”, sahut Megan dan pintu mobil pun terbuka. Setengah berlari aku meninggalkan Megan. Ia tahu kalo aku sedang kesal,dia menyusul dan memegang tanganku.
“Hey, jangan marah! Saya punya film baru Harry Potter 6 yang kamu pingin tonton”, rayunya. Hah, seakan tanpa dosa dengan apa yang ia lakukan baru saja. Dia lalu ada didepanku dan memamerkan kaset itu, entah dia dapat dari mana padahal sudah berminggu-minggu aku memesannya tapi selalu sold out. Antara keinginan ingin menonton dan menjaga gengsiku, tanpa pikir panjang aku melemparkan tasku kearahnya, mengenai tepat mukanya. Dia mengaduh kesakitan, “What you doing?”. Aku tersenyum dan menyusul kedalam rumahnya.
Dia begitu istimewa, ah Megan. I LOVE YOU
DUA
Aku sudah berada dikamarnya, tepatnya di attic, jendelanya menuju langsung ke jendela kamarku yang dipisahkan dengan halaman. Rumah kami memang mirip dan bergaya khas eropa, berderet-deret dan ada ayunan diantara rumah kami yang sering kami gunakan saat masih kecil. Megan senang sekali jika aku mendorongnya keras sehinggay ayunan terlihat seperti akan berputar 360, dia tertawa dengan keras sambil berkata,”More, Dian, harder!”, dan pada saat giliranku, aku akan menjerit ketakutan jika ia melakukan hal yang sama, jadi dia mendorong ayunanku dengan lembut.
“Dian, kamu tahu? Saya mendorong kamu seperti saya mendorong anak anjing yang diikat badannya dipegangan ayunan itu”, katanya sambil terus mengayun pelan.
“Megan, we are different. You are tough and I’m a Barbie”, jawabku sambil terus menikmati gerakan ayunan.
“I’ll make you the strong one someday”.
“No need, I don’t have to be like you”.
Setelah itu kami bermain seperti biasa, selalu ada pertengkaran-[ertengkaran kecil tapi setelah itu kami bermain seperti biasa.
Kami pun menonton harry potter sambil mengeluarkan seluruh isi kulkas, tanpa makan siang hanya cemilan saja cukup mengenyangkan dan kami memang lebih suka snack dari pada lunch. Mama Megan sedang bekerja, dan Ayah tirinya entah kemana. Keluarga Megan broken sejak ia duduk dikelas 4 Sd, terakhir kali aku bertemu pada saat ulang tahun Megan yang ke-10 setelah itu tidak sama sekali. Megan bilang papanya sudah menikah dan punya anak kembar perempuan. Dengan masih berseragam sekolah, kami malang melintang terlentang di kasur spring bed Megan yang berukuran king, dengan snack dimana-mana. ‘Ini sangat mengasyikkan”, teriakku. Megan lalu tengkurap disampingku dan wajahnya hampir menyentuh wajahku.
“Kamu tahu apa yang lebih mengasyikkan bagi anak SMP seperti kita?”, tanyanya sambil memasang muka menggoda. Aku menggeleng karena tahu ia akan menanyakan hal yang biasanya aku tidak tahu.
“berciuman dengan pacar kamu”, katanya sambil memperagakan cara mencium.
“Oh C’mon, that’s gross!”, kilahku sambil menggeser posisi tidurku. Dia pun terbahak-bahak, selalu ia melakukan itu, menggodaku dengan hal-hal yang ia sudah lakukan lebih dulu. Menurutku Megan terlalu berani dalam masalah relationship, tapi ia bilang masih perawan dan aku percaya karena aku sahabatnya, begitu pikiran sederhanaku bekerja. Diluar mulai gerimis, lama-kelamaan hujan mengguyur disertai petir. Aku merasa ngeri dengan kilatan petir dan menyuruh megan mematikan Film yang kami tonton. Kami hanya berbaring sambil menatap langit-langit rumah Megan yang ditempeli sticker bulan bintang atau sticker glow in the dark, jika kamar dimatikan maka sticker-sticker itu menyala sama seperti dikamarku. Ya kami membelinya bersama-sama dan saling berebut ketika melihat sticker bulan bintang ini sehingga pemilik took berjanji akan memesannya lagi dengan bentuk yang sama untuk kami berdua. Saat kami mendapatkannya, kami bersama-sama memasangnya. Pertama kamarku dulu, Megan membantu kemudian berikutnya kamarnya. Jadi dengan hanya melihat langit-langit ini serasa berada dikamarku sendiri.
“Hey, Dian! What do you think about my step dad?”, tiba-tiba tanya Megan sambil memainkan rambutnya.
“I don’t know but I think he’s nice but to be honest, I think he is weird, selalu mengamatiku dari kaki hingga kepala”,
“That’s what I mean. He does the same to me. I’m afraid something bad will happen to me”.
“Oh My God, don’t take him wrong this way”, hiburku mencairkan suasana. Mr. Brown memang keliatan sedikit aneh, selalu ingin mengetahui apa yang kami lakukan dan menawarkan bantuan meski tidak kami minta. Megan kurang akrab dengannya, tapi menurutku itu hal wajar karena hal ini pasti sulit bagi Megan menerima seorang ayah tiri, yang dia selalu tekankan bahwa papanya hanya satu dan tidak ada yang lain.
“Dian, I know you go along with me, I figure it out from your voice”, tuduhnya padaku dan memang aku setuju dengannya. Aku bangun dan memeluknya, sambil menangis aku katakana bahwa ini memang sulit dan apapun yang akan terjadi, aku akan selalu ada. Dia tidak bereaksi dan menarik tubuhku sehingga kami pun berpelukan sambil berbaring, dan tertidur.
Kami bersekolah di SMA International Nova di Jakarta, menghabiskan masa kecil bersama dan juga sekolah yang sama.
TIGA
Pulang sekolah, seperti biasa aku menunggu megan di taman bunga dekat parker. Ini merupakan tempat favorit kami untuk menunggu jika salah satu belum muncul juga, puluhan bungan mawar, jasmine, lili, matahari berjejer membentuk tulisan SMA Inter NOVA lalu dikelilingi rangkaian bunga melati yang harum sekali. Lebih dari 10 menit sejak aku menunggunya sampai hanya ada beberapa murid, aku memutuskan menuju kelasnya sambil bersungut-sungut, sambil membopong laptop, buku-buku ensiklopedia, dan tas pinggang. Sampai didepan kelasnya, terlihat Megan duduk diatas meja dikelilingi cowok-cowok termasuk juga Matt membahas sesuatu. Saat melihatku, dia melambaikan tangan dan menyuruhku masuk. Beberapa cowok bersuit-suit kearahku, Megan menimpuk kepala mereka satu persatu lalu turun dari meja, dan mengajakku bergabung. Aku hanya tertunduk saja, hanya Matt saja yang aku kenal.
“Eh, jangan ganggu best friend saya!Awas kalo berani sentuh dia”, kata Megan mengancam cowok-cowok yang tidak melepaskan pandangannya ke Dian.
“Ciee, segitunya. Dia ga kalah cantik juga, bolehlah. Masih pure juga”, sahut cowok yang punya name tag Andrew. Aku menarik-narik tas Megan seperti anak kecil yang memaksa pulang. Megan mengepalkan tangannya ke Andrew dan ia terus saja merangkul pundakku sambil menyuruhku meletakkan laptop dan buku-buku berat ini di mejanya. Aku menurut saja dan berdoa semoga obrolan ini cepat berakhir.
“Hey, Dian! How you going?”, sapa Matt ramah.
“I’m doing good”, balasku sambil melemparkan senyum.
“Dian, kami semua mau camping di puncak. Megan bilang, ia gak mau ikut kalo kamu tidak gabung”, terang Matt sambil terbata-bata menata bahasa indonesianya yang terlihat lucu. Ya meskipun hampir seluruh siswa disini campuran indo, tetapi bahasa mereka kebanyakan inggris sehingga agak kesusahan. Hanya orangtua yang sadar saja akan nasionalisme yang mengajarkan anak mereka bahasa Indonesia penuh. Megan dan aku termasuk salah satu murid yang lancer berbahasa Indonesia. Lalu ia pun melanjutkan ucapannya ,”Bagaimana Dian, kamu ikut juga ya?Please, ini pasti bakalan cool”. Sementara Megan hanya senyum-senyum saja, tidak peduli dengan apa yang diucapkan Matt. Ia melipat kakinya yang jenjang, dan hampir terlihat betisnya seolah menggoda Matt.
“I have no idea, Matt. I should ask mum for this thing”.
“Okay, saya tunggu nanti kamu call saya ya?”.
Aku mengiyakan dan mengajak Megan pulang. Mobil jemputanku sudah menunggu sedari tadi, kusapa pak parman, supir papa yang terpercaya. Megan menjelaskan perihal camping dipuncak, sambil terkantuk-kantuk mendengarkannya tapi kupaksakan untuk konsentrasi ke arah pembicaraan.
Sesampai dirumah, aku langsung melompat ke bed dan menikmati hembusan AC serta harum buah-buahan dari pengharum elektrik. Aku tertidur, tak berapa lama sayup-sayup terdengar suara Megan membangunkanku.
“Hey, my dear..This is a lovely day. Let’s go out”, kata Megan dengan riang disampingku sambil merebahkan dirinya juga.
“I’m bushed. Let me take forty winks and I’ll come with you anywhere. Promise!”, sahutku masih sulit membuka mata.
“We need to talk about our camping, Matt calls me all the time asking about you”, rajuk Megan
“Okay, saya akan bilang sekarang juga tapi setelah itu, kamu pergi dan biarkan saya tidur”, tawarku
“Ya ya, saya janji. So?”, kata Megan sambil melingkarkan jari kelingkingnya di jari kelingkingku dan dengan sabar menunggu jawabanku, ia sadar aku tertidur lagi lalu menggelitik telapak kakiku.
“Ya, saya ikut”, sahutku sambil masih tidak menyadari apa yang barusan terucap. Dia meloncat dari bed, mencium keningku dan memelukku. Terdengar tidak jelas apa yang dia katakan dengan nada senang dan beberapa menit suaranya sudah hilang, aku melanjutkan tidurku.
Malamnya, aku duduk di Sofa menonton TV. Pintu utama terbuka, seperti biasa pastilah Megan karena tidak ada lagi orang yang paling sering keluar masuk rumahku selain anggota keluargaku dan tentu saja, si Bule Gila ini. Tanpa salam, menganggap rumahnya sendiri, megan naik keatas menuju kamarku. Aku membiarkannya karena biasanya dia juga begitu, meminjam laptopku atau bajuku dan yang paling sering numpang mandi. “Benar-benar tetangga yang ‘sopan’ sekali”,pikirku sambil tertawa.
Terdengar deritan wardrobe yang dibuka, kemudian ia berteriak dari atas tentang jaket gunungku dan aku memberitahunya semua benda-benda itu ada diatas wardrobe. Aku melanjutkan menonton acara Nanny 911 sambil menunggu mama datang jam 10 malam. Terdengar teriakan lagi darinya, aku tidak menjawab, langsung naik keatas.
“Hey, what you doing?”, tanyaku kaget melihat baju-baju tergeletak diatas bed. Dia terus saja memilih-milih baju dan peralatan pecinta alam yang eskulnya kami ikuti beberapa bulan lalu.
“We are going early morning tomorrow”.
“Pardon? Going where?”, tanyaku kaget mendengarnya, dia mendekatiku dan memukul kepalaku cukup keras. Aku mengaduh kesakitan.
“Are you being a grandma already? Didn’t remember what you said this afternoon?”
Aku berusaha mengingat-ingat apa yang kukatakan tadi siang dan teringat kalo aku bilang iya. Oh tidak, aku tidak ingin ikut camping bersama cowok-cowok itu. Ada sih Matt yang baik tapi pasti Megan dan Matt akan berdua saja dan meninggalkan aku dengan mereka. Aku mulai memutar otak untuk mengatakan tidak jadi ikut. Aha tiba-tiba ide brilliant lewat disaluran otakku.
“Megan, besok waktu saya menstruasi. Kamu tau kan gimana saya kalo lagi dapet. Saya selalu kesakitan dan sewaktu-waktu jika tak tertahankan bisa pingsan”, kataku mencoba berbohong dengan sealami mungkin supaya tidak ketara. Dia melihatku curiga sambil mengingat-ingat sesuatu. Wah mati lah aku kalo sampai ia tahu bahwa ini hanya kebohongan. Aku tersenyum semanis mungkin dan menggelayut dipundaknya, meyakinkannya bahwa memang aku akan bereaksi seperti itu jika PMS tiba.
“Haaa..Kamu mau coba bohongi saya ya, bukankah 3 hari yang lalu kamu baru berhenti PMS-nya”, selidiknya. Aku melepaskan gelayutanku dan membenamkan diriku dibantal.
“Ah, saya tidak mau ikut. Saya tidak suka mereka”.
“Dian, liat saya! Saya janji kamu akan aman dengan mereka.Saya akan jaga kamu seperti biasa.Okay?”
‘Entahlah”.
“Please, say YES”, ibanya, duduk didepanku. “Tapi saya belum bilang mama”, kilahku.
“ I did, saya sudah telpon Mrs Cowell tadi siang”, tegasnya yang membuatku melongo, bagaimana tidak betapa cepat cara dia bekerja berkonspirasi dengan mama yang pasti akan selalu mengatakan ‘iya’ jika Megan mengajakku pergi.
“Okay”, sahutku malas, ia bersorak dan mengatakan bahwa aku adalah sahabat terbaiknya didunia. Megan membantuku berkemas, memilih pakaian, dan menyiapkan makanan untuk besok. Aku mengambil beberapa buku chicken soup yang belum selesai kubaca, memasukkannya ke tas, dan Megan mengeluarkannya lagi. Dia berkata aku tidak akan membutuhkan buku-buku itu karena perjalanannya akan sangat mengasyikkan dan aku butuh mengistirahatkan mataku untuk tidak membaca, aku menurut tapi saat ia pulang kerumahnya, aku memasukkannya lagi. Hihihi.
EMPAT
Dian mengintip jendela kamar Megan diseberang, masih tertutup tirai, tidak seperti biasanya mungkin dia sedang kencan dengan Matt atau kumpul dengan teman-teman anehnya yang suka memakai piercing dan anting. Dian bergidik membayangkan Megan bersama mereka, mendengarkan music underground yang memekakkan telinga, membaca buku-buku aneh yang bersampul hitam, atau mencoba rokok dan sejenisnya. Tidak habis pikir dimana Megan menemukan mereka atau sebaliknya. AH Megan memang tidak bisa ditebak, pernah suatu kali dian ikut megan ke base camp mereka, Ya Tuhan banyak poster-poster makhluk aneh yang tertempel, seperti Lucifer yang memegang kapak dan ruangannya pengap ditambah bau rokok. Dian tak hentinya terbatuk-batuk dan Megan langsung mengajaknya keluar. Sekarang Megan tidak pernah mengajaknya lagi, seperti membawa Vas China yang harus dijaga hati-hati katanya. Sambil menunggu Megan datang, yang biasanya meskipun tidak ditunggu ia selalu datang dan muncul tiba-tiba dikamarnya tanpa menyebabkan bunyi tangga berderit, dian mengerjakan PR. Entahlah terkadang ada sisi Megan yang ia tidak mengerti, seperti kesukaan Megan pada music-musik underground, dan sepanjang pertemanannya tak satupun hal yang membuat Megan menangis bahkan saat kakinya hampir patah karena mencoba turun dari kamarnya dilantai dua melalui pipa air yang tertempel ditembok luar rumahnya. Dian terus mengingat-ingat memorinya bersama megan, saat telpon bordering, ia segera berlari ke bawah dan mengangkatnya.
“Hallo, Dian. Ini Mrs Elsatte! Apa Megan disana?”.
“TIdak, Mrs.Elsatte. Tadi saya menunggunya disekolah tapi dia sudah pergi sejak jam ke tiga”.
“Baik, tolong kabari saya jika dia datang”.
Suara telepon ditutup disana, aku berpikir sebentar dan memutuskan untuk mencarinya, entah dimana karena kami tidak memiliki tempat favorit lagi selain taman bungan dan kamar. Kuraih jaket yang tergantung dibalik pintu kamar, dan tidak lupa jas hujan karena langit mulai berwarna abu-abu, dan terakhir sepatu kets pink converse, hadiah ulang tahun dari Megan dan ia punya tipe yang sama juga. Ia menuliskan rencana tempat-tempat yang akan ia periksa dibenaknya, pertama base camp, kedua taman sekolah, ketiga entahlah.
Di base camp, dian tidak berani masuk hanya bertanya pada orang-orang berbaju hitam yang lalu lalang yang sekiranya terlihat aneh dan serba hitam pastilah anggota club ini. Mereka semua menggeleng dan mengatakan sejak kami berdua terakhir kali datang ke tempat ini, Megan tidak pernah datang lagi. “Ah mungkin ia mendengar kata-kataku untuk tidak datang ke tempat aneh ini karena mereka mempunyai potensi untuk menjadikan tempat ini incaran polisi”, pikirku lega.
Lalu ke taman sekolah, hanya beberapa murid yang sedang berpacaran dan beberapa anak skater. Dian menanyai mereka tentang Megan, nama Megan sangat popular sehingga tidak ada yang tidak mengenalnya bahkan para sopir taksi yang hanya sekali kami tumpangi tau namanya. “Sungguh anak yang popular”,tawaku mengingat bagaimana mereka mengagumi Megan. Dian tidak mengatakan Megan anak yang beruntung karena popular, popular bisa saja membahayakan jiwa dengan banyaknya orang yang menginginkannya dan lalu.., Dian bergidik sendiri membayangkan dan cepat-cepat menepis pikiran buruk itu.
Tanpa pikir panjang, ia menuju pantai Vola yang tidak jauh dari sekolahnya. Dulu pantai ini sangat indah dan tidak terlalu berbahaya untuk berenang disana tetapi 5 tahun ini ombak sangat besar, beberapa orang menjadi korban keganasan ombak dan akhirnya dikeluarkan larangan berenang, hanya dijadikan dermaga saja dengan beberapa jembatan dibibir pantai. Biasanya hanya orang memancing yang pergi ke jembatan itu, atau beberapa orang berseragam putih yang melakukan penelitian tentang perubahan volume ombak. Sudah pukul 5 sore, dian duduk di salang satu warung dan memesan jeruk hangat. Cuaca semakin dingin tapi syukurlah hujan tidak turun, meskipun ia sudah bersiap membawa jas hujan sebagai jaga-jaga. Jeruk hangatnya habis, ia membayar lalu berjalan-jalan lagi menyusuri bibir pantai Vola menuju Dermaga sambil bernyanyi kecil menghilangkan rasa takut tapi suaranya kalah dengan deburan ombak yang terlihat seperti suara rumah runtuh.
Dari kejauhan terlihat seseorang duduk dengan kaki ditekuk. Dian berdegup, jangan-jangan itu setan atau makhluk jadi-jadian seperti yang ia dengar dari rumor orang-orang desa tak jauh dari rumahnya. Celingak-celinguk memandang sekitarnya, sepi tidak ada siapapun, pikirannya dipenuhi imajinasi aneh-aneh tentang makhluk halus itu. Segera ia berlari pulang tapi ia ingat bahwa ia sedang mencari Megan, ia kembali lagi dan mendekati orang itu. Sambil membaca doa, ia terus berjalan mendekat dan ternyata benar, Itu Megan.
“Meggie, what you doing here?”, tanyaku sambil berlutut disampingnya. Kulihat wajahnya yang lesu dan tatapan kosong. Tidak biasanya atau tidak pernah ia seperti ini. Kurangkul tubuhnya yang dingin, dan terus kutanyai tapi dia tidak bereaksi.
“You know, it’s so cold here. Kamu tidak pakai apa-apa”, kataku sambil mencopot jaketku dan memakaikannya punyaku. Aku menarik tubuhnya dari belakang dengan susah payah dan mengajaknya pulang, ia menurut saja. Didalam taksi, ia masih diam saja dan tertunduk. Menarik kepalanya dan merebahkan dipangkuanku, kubelai rambutnya yang hitam legam dan kugenggam tangannya yang dingin. Sungguh pemandangan yang tidak biasa, dia seperti anak kecil yang kelelahan karena menangis seharian akibat keinginannya tidak dituruti.
“ Meggie, what’s wrong? Did Matt hurt you?”, bisikku sambil terus mendekapnya. Dia hanya diam saja lalu menutup mata. Sampai dirumah, aku sengaja mengarahkannya ke kamarku, dia langsung meringkuk dikasur. Masih penasaran, kudekati ia dan kucium keningnya sama seperti yang biasa ia lakukan kalo aku sedih atau sakit.
“Can I get some water, please?”, katanya tiba-tiba. AKu senang dia mau berbicara dan langsung kebawah ambil air. Diteguknya air itu sampai habis, setelah itu ia roboh lagi. Aku sudah menyerah dan membiarkannya tidur. Kulepaskan sepatunya dan jaket yang ia pakai dan menyelimutinya dengan selimut tebal Winnie the pooh kesayanganku. Aku berlari kerumahnya dan memberitahu Mrs. Elsatte bahwa Megan ada dikamarku, aku meminta ijin untuk ke kamar megan dan mengambil buku-buku yang besok ia harus bawa ke sekolah serta seragamnya. Kulihat telp genggamnya diatas meja, kuperiksa dan ada telp dari Matt hingga 34 kali juga sms yang tidak kalah banyaknya. Aku pamit dan pulang.
Dikamarku, Megan mungkin sudah tertidur, aku mengerjakan PR Fisika untuk besok yang berlembar-lembar ini. Selalu Mr. Eugene membebankan kami dengan segudang PR, alasannya supaya kami lebih menghabiskan waktu dirumah berkutat dengan ini. Aku juga memeriksa PR Megan, “Ya Tuhan, dia bahkan belum mengerjakan Kimia juga”, pikirku panik. AKu lembur mengerjakan PR-PR Megan sampai pukul 12, dan cepat-cepat tidur disamping Megan. Ku tarik selimut dengan hati-hati agar tidak membangunkannya, dan aku tidur sampai pagi.
Pukul setengah enam, Megan sudah disampingku dengan wajah yang ceria, membangunkanku dengan musik rocknya yang bising. Dia sudah berpakaian seragam lengkap dan berdandan.
“Hello, honey! Good Morning”, sapanya. Hah, aku masih tidak percaya dengan ini. Tadi malam saja, ia seperti mayat hidup yang tidak bisa berbicara dan kehilangan jiwa dan sekarang seperti tidak terjadi apa-apa, aku menarik selimutku. Dia meloncat ke kasur dan menindihku, aku mendorongnya hingga ia hampir terjungkir. Dia kembali ke meja dan memeriksa PR-nya, dan bersorak “ Wow, amazing! I think someone has done my homework”,. Aku segera bangun dan menjitak kepalanya, dan ia memelukku dan menciumku tanda terimakasih. Kami tertawa bersama mengingat betapa konyolnya ini semua. Hari yang cerah untuk pergi kesekolah.
LIMA
Hari ini disekolah ada pertandingan basket anatara kelasku dan Megan dikelas olahraga. Malas sekali karena aku masih tidak begitu paham dengan aturan main basket dan kelas Megan memiliki murid cewek yang badannya lebih besar dan suka menubruk, nyaliku sudah ciut dulu. Aku berganti pakaian di ruang ganti dan mendengar kelas Megan sesumbar akan mengalahkan kelas kami, megan menghampiriku dan menanyaiku apa sudah siap bertanding.
“OH, Megan, kamu tahu saya tidak pernah suka pertandingan atau semacamnya”, sambil memakai baju olahraga dan celana pendek. Dia tersenyum dan menepuk punggungku, “Tenang, kami akan bermain sangat indah tanpa adu fisik serti yang kamu takutkan”,. Aku mengiyakan.
Kami sudah ada dilapangan, dan aku berjaga disisi kanan, sedangkan megan ada diseberang sebalah kanan juga. Dia sangat antusias dan melambai kearahku, aku membalasnya. Peluit dibunyikan, game dimulai, dan kami pun berebut bola dengan semngat, ehmm tidak bagiku. Oper mengoper bola terjadi, drible, shoot, dan perebutan berlangsung seru. Murid cowok menjadi supporter memberi semangat kami, cewek-cewek semakin bersemangat untuk mendapatkan perhatian mereka. Tina melemparkan bola kearahku, dan aku tau aku harus maju ke kubu lawan dan memasukkan bola ini. Aku berlari cepat menghindari tubuh-tubuh yang menghalangiku, aku oper ke Tina lagi dan masuk!. Semua bersorak, Tim kami mulai mengejar ketinggalan, aku sedikit banyak mulai mengerti. Bola dilempar dan megan menangkapnya, dengan cepat berlari kearah keranjang basket dibelakangku, aku menghalanginya sambil melompat-lompat kecil.
“Hello, my little angel. You wanna beat me, huh?”, tantangnya dengan senyuman nakal
“Ya, I’ll beat you for the first time”, kataku sambil merebut bolanya dan berhasil. Ia hanya melongo, aku melanggeng mulus dan mencetak skor. Ya kami unggul, Megan tersenyun sambil mengacungkan ibu jarinya dan kemudian membentuk isyarat ‘You’ll die!”. Aku melengos dan seperti biasa ia terbahak melihat tingkahku.
Kami mulai kelelahan, bola sudah kami kuasai dan si Drew memegangnya, mengopernya kearahku. Aku menangkapnya dan akan menshoot jarak jauh ketika tiba-tiba Fiona dari tim Megan, lari kearahku merebut bola, tetapi karena ia terlalu bersemangat, oh mungkin lebih tepatnya berambisi menghentikan langkahku, tubuhnya yang besar menubrukku dari arah depan dengan keras. Aku pun terpental dengan keras, kulihat semua murid mengerubungiku dan juga megan meraih tubuhku dan membaringkanku dipangkuannya. Panik dan pak pelatih datang menyuruh semua anak bubar untuk memberi ruang dan udara padaku.
“Meg, baringkan dian dilantai!”, perintak pak pelatih. Megan menurut karena ada benarnya jika ada tulangku yang patah atau retak. Aku masih mengerang kesakitan memegangi dadaku, suara Megan bergetar tanda bahwa ia sedang panik, mencoba membuatku sadar. Permainan tomatis berhenti, kulihat Fiona hanya tertunduk menyesali apa yang terjadi, aku tau dia tidak sengaja. Matt langsung turun dari podium tempat duduk, dan menenangkan Megan.
“Dian, how you feel?”, tanya pelatihku dan mencoba meluruskan posisi tubuhku. Dadaku sesak dan mataku berkunang-kunang. Nafasku mulai tersengal-sengal.
“ I don’t know but I can hardly breath”, sahutku lemah. Megan menangis, baru kulihat kali ini ia menangis. Dia langsung memelukku. Aku tidak tahu apa yang terjadi lagi, kurasakan beberapa orang mengangkat tubuhku ke klinik sekolah.
Entah sudah berapa lama aku pingsan, saat kubuka mata Megan disamping memegangi tanganku. Ia keliatan khawatir, kugoyangkan tanganku dengan halus, dan ia segera mengalihkan pandangannya kearahku.
“Dian, are you okay?”, tanyanya cepat
“What do you think?”, balasku bertanya
“Entahlah, saya ketakutan sekali melihatmu terkapar ditengah lapangan basket dan tidak bergerak”, kata Megan sambil memelukku. Ia lalu memanggil dokter sekolah dan memeriksaku, mengatakan bahwa aku tidak apa-apa hanya trauma kecil yang mengakibatkanku sulit bernafas dan buruknya lagi, dadaku memar. Megan mengoleskan semacam olesan pain killer dengan hati-hatid an terasa dingin di dada. Sambil tergelak ia mengatakan kalo pertumbuhan serta perubahan tubuhku belum maksimal, aku mengerti maksudnya setelah mengoleskan olesan itu, aku mengibaskan tangannya yang mulai jahil menggelitik.
Bel sekolah berbunyi, aku bangun dan berniat mengambil tas sekolah yang masih ada dikelas. Megan bilang kalo Alya sudah membawakannya dan ada dilemari klinik, pintu diketuk dan muncul Fiona dengan tertunduk dan mencangklong tas Megan. Ia memberikannya pada Megan dan mendekatiku.
“Dian, I’m so sorry. Saya benar-benar tidak sengaja”, aku Fiona. Aku meraih tangannya dan mengatakan bahwa semua sudah baik kembali. Ia masih dengan muka prihatin menatapku dan memelukku, Megan kemudian memecah keheningan ini dan mengatakan bahwa aku sudah tidak apa-apa. Fiona pamit, kami juga segera keluar klinik. Dadaku masih sakit, sambil memegangi dan sedikit terbungkuk, Megan menanyaiku apa aku baik-baik saja, aku menggeleng. Dia mengambil tasku dan memegangiku. Semua mata menatap kami, entah karena kasihan padaku atau beranggapan lain seperti rumor yang berkembang bahwa kami bukan sekedar sahabat melainkan pasangan lesbian. Ah, aku tidak pernah peduli, bagiku Megan adalah segalanya, lagi sampai aku belum punya pacar.
ENAM
Kelas biologi I, dian dan Megan mengambil bersama. Dian senang sekali bisa satu kelas dengan Megan, tetapi Megan berbeda, ia senang karena di kelas Dian banyak cowok keren. Megan tak hentinya menebar pesona dan menyuruh Dian memperkenalkannya dengan salah satu dari mereka. Dian kegerahan dan menjauh dari Megan
TUJUH
Minggu pagi cerah ini, Megan dan Dian datang kerumah Niko kira-kira 1 jam dari rumah mereka, akan berlatih basket karena minggu depan ada pertandingan disekolah. Niko adalah sepupu Megan dari Jerman yang minggu lalu baru datang. Diam-diam dian menyukai Niko tapi ia sembunyikan perasaan ini khawatir Megan akan mengerjainnya habis-habisan, ya dalam masalah cowok, megan selalu ikut campur jika Dian memilih cowok. Contohnya saat dian kencan dengan Ron, Megan tidak suka karena Ron kurang macho bahkan Ron sendiri tidak bisa menjaga anjingnya hingga itu anjing mati tertabrak mobil, lalu hubungannya dengan Dian? Megan berpendapat entah untuk menakutinya seperti biasa atau memang ada benarnya, Bagaimana jika saat aku dan Ron sedang berkencan dan sesuatu buruk terjadi pasti Ron akan lari duluan atau membiarkanku seperti anjingya. Aku mundur dan mematikan tiap kali Ron menelpon. Atau Hangga yang dikenal sebagai mama boy tapi dian suka, Megan langsung mengatakan tidak, ia takut kalo hangga membawanya ke tempat sepi dan terjadi..hmm, bisa ditebak. Megan juga memberi tahu tentang criteria cowok yang kurang ajar seperti meraba-raba bagian depan ketika berciuman, mengajak ke klub untuk mabuk dan jika sudah tak sadarkan diri akan menemukan dirimu tidak berbaju, dan banyak hal. Memang meskipun Megan sudah banyak tahu tentang itu, tetap saja ia tidak mau memberlakukan criteria itu untuk dirinya karena mengejar cowok-cowok yang paling tidak memiliki salah satu criteria diatas dan menurut dia itu keren sekali. Saat aku tanya kenapa aku tidak boleh melakukan yang sama dengan dirinya, Megan berkata dengan serius sambil memegang kedua pipiku,”Karena saya tahu diri kamu lebih baik daripada kamu sendiri dan tidak ingin melihat kamu terluka, rusak, atau menangis saat pacar kamu berbuat seperti itu”.
“ Saya tidak lemah atau cengeng seperti yang kamu katakana”, sergahku sambil mengambil boneka teddy dan memangkunya.
“Haaha..Coba saja, siapa yang kamu akan cari setelah kamu mengalami apa yang saya katakan? Bertaruh saya akan jatuh dari gedung bertingkat, itu pasti saya!”, tegasnya sambil merebut boneka teddy. Aku mengambil boneka teddy yang jatuh dilantai dan melemparkan ke jidatnya, ia marah-marah dan menyerangku, ya tidak terlalu serius kami berguling-guling diatas kasur dan tertawa. Aku menang karena berada diatas badannya, kulihat matanya yang hitam legam seperti orang Indonesia kebanyakan dan memgang kedua tangannya.
“Lihat, saya tidak lemah kan?”
“Hmm, not bad”,
“ Jadi saya bisa jaga diri kalau pacar saya kurang ajar”, pamerku. Dia langsung membanting saya dan posisinya berbalik dengan dia duduk diatas badanku.
“Jika pacarmu sekuat barusan, bagaimana?”, kata Megan sambil memegangi tanganku dengan kuat. Kakiku meronta, tapi dengan sigap ia menahan dengan kakinya jadilah kami seperti magnet yang saling menempel. Ku coba untuk melepaskan tanganku tapi pegangannya terlalu kuat.
“Oh C’mon, Meg! Let me go”,
“Just promise me that you’re gonna listen to me, harus pintar memilih pacar”, tawarnya, mukanya hampir menyentuh mukaku sangat dekat sekali, dapat kurasakan omongannya yang sungguh-sungguh.
“Okay, you got it”, aku menyerah agar ia cepat menyingkir dariku karena aku sedikit kesulitan bernafas ditindih tubuhnya. Dia menyingkir dan membantuku bangun, lalu pulang. Hmm, sungguh tidak dapat diduga apa yang baru dia lakukan baru saja.
DELAPAN
Aku akhirnya berkencan juga dengan Mike, ya kencan sekaligus pacar pertamaku, oh bukan kencan pertama tapi yang resmi setelah dengan Hangga gagal karena Megan menceritakan kepengecutan Hangga. Sengaja tidak memberitahunya agar ia tidak kebakaran jenggot dan memberiku cerita keburukan Mike yang mungkin aku tidak tahu. AKu ingin merasakan dan menilai Mike, murni diriku. Ya malam ini pukul 7, makan malam dan nonton film, itu yang kami berdua rencanakan. AKu sudah tidak sabar untuk pulang kerumah, hrrgggh pelajaran bahasa indonesiaku kesukaan menjadi terasa paling memuakkan hari ini, ya karena sudah terbayang aku membongkar semua lemariku, memadu-madankan pakaian, memoles sedikit bibirku dengan lipgloss milik megan yang ketinggalan 2 bulan yang lalu, semoga tidak kadaluarsa atau terlalu benyek, menumpahkan parfum milik mama yang beraroma mint. “Ah, senangnya”, aku tidak hentinya tersenyum memikirkan itu semua. Tak lama bel berbunyi seperti memencet jerawat yang tak kunjung hilang, aku berlari ke kelas Megan dan segera menariknya pulang, beralasan bahwa perutku sakit jika tidak begitu Megan masih punya jadwal khusus setelah bel berbunyi yaitu ngobrol dengan cowok-cowok yang menjadi pemuja abadinya. Megan menatapku curiga mungkin karena wajahku tidak nampak pucat atau menyedihkan, aku mulai mengerutkan dahi, mengeluh, dan memegangi perutku.
“Okay, Lets go!”, katanya diiringi suara yaaah yang panjang dari cowok-cowok yang menurutku tidak keren itu. Megan membawakan tasku dan menuntunku menuju mobil baby bens miliknya. Dalam hati tawaku ingin meledak saja melihat betapa bagusnya aku berakting, tapi di satu sisi menyesal juga membohongi Megan seperti ini tapi tak apalah demi suksesnya kencan pertama.
Sampai dirumah, Megan mengantar sampai kamar, ia segera turun kebawah. Aku kira ia pulang, aku pun melompat-lompat diatas kasur tapi tunggu derap langkah menuju atas, “jangan-jangan megan”, pikirku. Aku mengambil posisi semula terbaring diatas kasur, ya benar saja itu dia membawa segelas madu hangat dan obat sakit perut. Oh tidak, mau tidak mau aku meminumnya saat Megan menyodorkan gelas dan obat. Aku merebahkan tubuhku lagi, Megan mengambil selimut dilemari dan menyelimutiku, mengusap dahiku, lalu menyuruhku tidur. Aku menurut saja dan pura-pura tidur, setelah itu ia duduk dimeja belajarku, mungkin mengerjakan PR atau entah sedang apa.
“Oh Tuhan, kenapa ia tidak pergi juga” batinku. Aku bangun dan berkata padanya boleh meninggalkanku jika ia punya sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan.
“Dian, I stay. Kamu sakit dan saya tidak boleh kemana-mana”
Demi mendengar itu, aku lemas, memutar otak agar membuatnya bisa pergi. “I think I need time on my own”. Aku berdoa semoga ini berhasil. Tapi jawabannya sungguh menyebalkan saat ini, tapi kalo aku benar-benar sakit akan sungguh mengharukan, ia bilang ia tidak akan ribut. Aku menyerah dan kurasakan perutku benar-benar sakit, terimakasih Tuhan, ini kombinasi penderitaan yang sempurna.
Aku benar-benar tertidur saat telepon Megan berbunyi, aku terbangun dan megan minta maaf karena membangunkanku, ia keluar kamar dan kudengar ia sedang berbicara serius. Aku berusaha menguping tapi telingaku tidak mampu menembus ketebalan dinding kamar ini. Tak berapa lama ia masuk lagi dengan wajah menyesal dan harus pergi sebentar karena Matt berulah dengan Nick, gebetan barunya. Aku hampir melompat dari kasur saat ia mengatakan itu, aku segera membuka lemari seketika Megan pergi. Aku melakukan semua yang kurencanakan di kelas, mandi dengan aromaterapi mint adalah tambahannya. Aku sangat bahagia melakukan satu persatu rencana ini, tak lupa ucapan terimakasih teramat dalam karena Tuhan sudah mencabut penderitaan kombinasi tadi.
Pukul 7 tepat, Mike menjemputku dengan Nissan March coklat didepan rumahku. Aku tak sabar ingin cepat-cepat masuk ke mobilnya, takut Megan pulang dan melihat ini semua. Mike keluar mobil dan menanyakan mamaku untuk meminta ijin mengajakku keluar, ini memang sopan tapi tidak untuk kali ini. Dia agak terheran-heran melihat sikapku, aku jelaskan mama tidak ada dirumah, dan lebih baik bergegas karena aku tidak boleh pulang malam. Ia rupanya mengerti dan segera melaju dengan kecepatan sedang.
“How you doing, baby?”, sapanya memecah keheningan.
“Great, it’s because I have a date”, jawabku malu-malu. Hah jujur sekali, aku bisa melihat kepalanya menggelembung karena jawabanku, oh aku maksud senyumnya ynag menggembang. Dia memegang tanganku lalu pahaku, aku mulai risih “Mike, I think you need to focus on driving”.
“It’s sweet, kamu perhatian sekali”, katanya senang. AKu sudah lupa dengan petuah Megan tentang criteria cowok kurang ajar, mungkin dewa cinta masih diatas kepalaku.
Kami tiba di kafe shake and dance, mike memesan makanan yang sama denganku, steak bebek dan strawberry juice, Kami makan dan mengobrol panjang lebar, apa saja dan beberapa mebuatku tercengang bagaimana teman-teman mike mengincar Megan. Aku agak risih mendengarnya, tapi tetap aku ingin mendengar cerita Mike sampai habis sehingga aku bisa menyuruh Megan untuk berjaga-jaga.
Selesai makan malam, kami menuju gedung bioskop tak jauh dari kafe. Film yang akan kami tonton memiliki antrian yang sangat panjang, aku ragu untuk masuk. Mike tahu itu, Ia merogoh sakunya, dan taraaaaa dua buah tiket. Oh, aku senang sekali dan kami bergandengan tangan masuk ke aula satu. Lampu mulai dimatikan tanda film akan diputar. Kami duduk dibarisan pojok belakang “spot yang bagus”, pikirku. Aku menikmati sekali sampai 10 menit berlalu, Mike memegang tanganku lalu memegang pipiku dan mencium bibirku dengan lembut. Aku tertegun dan agak risih dengan banyaknya orang meskipun mereka tidak memperhatikan, aku mencoba menghindar saat ia akan melakukan hal yang sama. Aku melihat kearah kananku yang membuatku hampir muntah, dua remaja bukan lagi berciuman tapi bercumbu seolah ingin melahap satu sama lain, perutku mulas, dan aku tidak konsentrasi menonton film ini. Mike mencoba usahanya yang kedua, ia kembali mendekati wajahku dan mengecup leherku, “aku kecolongan tapi biarlah kami kan sednag pacaran”, pikirku.
Dua jam kemudian, kami sudah keluar dari gedung bioskop, menuju mobil dan pulang. Selama diperjalanan, aku hanya diam saja memikirkan tentang ciuman tadi yang secara tiba-tiba. Aku mencari makna kata romantic diotakku, kucoba menyisir satu persatu informasi yang mengendap diotak tentang romantis, ah tidak dapat kutemukan juga. Mike menatapku, dan menghela poniku yang menutup dahi sebagian, aku tidak tahu apa yang kurasakan tentang perhatiannya tapi kurasa ini berlebihan di kencan pertama. Kami sampai didepan rumah.
“Okay, we’re here!”, katanya sambil meletakkan kepalanya disetir memandangku.
“Ya, Thank you for this lovely date. I’ll see you later”
“Just it?”, ujarnya sambil menunggu sesuatu atau dia akan melakukan sesuatu. Aku masih tidak tahu maksudnya, ia lalu menarik tanganku dan kami berciuman. Dia sangat agresif sekali menciumku, aku tidak tahan dan melepaskan ciumannya yang kau kira kan pelan dan lembut. Dia kelihatan kecewa, lalu mebiarkanku pergi. Kulambaikan tanganku dan segera berlari kerumah.
Masuk rumah dengan mengendap-endap masuk kamar dan kutekan tombol lampu yang menempel disebelah kanan pintu sambil tersenyum senang dan puas. Tas tanganku terjatuh saat menyaksikan Megan duduk dikursi meja belajarku sambil membawa buku ‘Kencan pertama’-ku yang jauh-jauh sudah kubeli dan kusembunyikan dilemari pakaianku. Aku masih mematung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan, menyapanya atau pura-pura pingsan. Aku bersedia untuk loncat dari atas bukit saat ini melihat mukanya yang tanpa espresi lalu melemparkan buku itu dikasur, dan mendekatiku.
“Rupanya lipgloss yang menempel dibibirmu hilang” katanya sambil mengelap sisa lipgloss yang belepotan dibibirku. “Sial”, jeritku dalam hati ini pasti akibat ciuman tak terencana tadi. Aku seperti merasa siap disidang akibat kasus pornografi. Masih berdiri didepanku memeriksaku seperti seorang detektif yang mencari bukti kejahatan “Why yo lie to me?”.
“Nothing really happened, we went out for dinner and movie”
“You were dating with Mike? That bastard? What did he do to me during your lovely date?”, semprotnya sambil menguncang-guncangkan tubuhku.
“He was nice and treated me well”, belaku sambil melepaskan sweater yang kupakai dan menggantungkannya dilemari pakaian.
“I saw you kissing with him as if he wanted to rape you”
“ We did because we wanted it”, sergahku sambil menangis. “Why you always make me so bad about my boyfriend?”
“He is a bad guy and..”, belum sempat ia menjelaskan aku sudah memotongnya dan menyuruhnya pergi. Ia tetap tak beranjak.
“Did I ask you to leave?”
“Okay, hope you’ll not be sorry for this and don’t dare to call my name when you get dumped by him”, kata-katanya begitu menakutkan dan aku sedikit menyesal karena menyuruhnya pergi. Ia membanting pintu kamarku, dan pulang. Entah aku tidak bisa merasakan apa yang aku rasakan, aku memandang diriku sendiri didepan cermin, aku melihat diriku menangis.
SEMBILAN
Esoknya aku menjemput Megan dirumahnya, tapi Mrs. Cowell bilang Megan sudah berangkat pagi-pagi sekali. Aku sudah lupa pertengkaran kami semalam juga kencanku, hoaah begitu cepat aku melupakan apa-apa yang terjadi, jadi aku menunggu bis jemputan. Didalam bus, hapeku berbunyi dan kulihat nama mike memanggil, seperti baru saja disiram air yang dingin dimalam pagi yang dingin, aku baru ingat semua kejadian semalam, juga anatara aku dan Megan yang menyedihkan. Aku ragu mengangkat telponnya, kupejamkan mata, kutawar diriku untuk mengangkatnya tau tidak, tapi setelah 20 kali hitungan yang kulakukan sambil bergumam, aku akhirnya mengangkatnya. Terdengar suara yang sangat riang dari Mike, mengatakan bahwa ia tidak sabar menemuiku disekolah dan tidak bisa tidur semalaman memikirkanku, lalu terdengar bunyi kecupan, selesai.
Baru melangkahkan kakiku dihalaman sekolah, Mike menyambutku dan tak segan mengecup bibirku. Cepat-cepat aku menepisnya dan segera masuk ke kelas, Mike tetap membuntutiku dan menawarkan membawakan tasku. Saat melintasi kelas X-1, kelas megan, aku melihatnya memandangiku dengan tatapan yang tidak biasa. Aku tahu ia masih marah padaku, Mike menahanku masuk kelas, dan sekali lagi menunjukkan kemesraan dengan memeluk diriku, aku pasrah karena dengan itu ia membiarkanku masuk kelas. Kulihat megan membuang muka dan menutup pintu kelasnya keras-keras, oh rasanya hatiku tinggal separuh merasakan perubahan sikap Megan.
Saat istirahat, biasanya kau pergi ke perpus atau kantin jika aku dan megan sepakat bertemu disana. Kini Mike sudah menungguku didepan kelas sambil duduk dibangku semen yang menempel ditembok-tembok tiap kelas.
“Honey, how’s ur class?”
“It’s great as usual”
“Okay, seems like we have to rush to Canteen before it’s crowded”
Kami menuju kantin, mike memilih duduk dipojok dekat jendela. Entah aku sedang tidak ingin mengobrol atau makan, yang ada dipikiranku hanya Megan. Mike memecah perhatianku, ia menyuapkan kentang goreng ke mulutku, aku menolaknya tapi Mike memaksa. Mike tiba-tiba menciumku dengan mulut masih penuh kentang goreng, aku rasa aku ingin muntah, aku pamit ke toilet dan tidak kembali lagi. Mike menyusulku ke kelas dan bertanya mengapa aku meninggalkannya begitu saja, aku beralasan bahwa perutku sakit. Bel berbunyi, benar-benar menyelamatkan hariku saat ini. Mike pun kembali ke kelas sebelumnya ia mengecup tanganku, beberapa anak melihatnya dan berdehem ria.
“Dian, saya pikr kamu lesbi”, kata Feri
“Shut up!”
Ya mungkin mereka terlalu sering melihatku dan megan selalu bersama meski megan sering menggandeng cowok, tapi anggapan mereka padaku tentang bagaimana aku dengan megan. Pulang sekolah, aku menunggu megan didepan kelasnya berharap ia sudah tidak marah lagi. Ia keluar kelas dan sungguh kejamnya tanpa memandangg sedikitpun padaku yang berjarak 5 cm didepannya, ia melewatiku seolah-olah aku kucing kecil yang mengeong terus menerus. Aku mensejajarkan langkahku dengannya “Meg, C’Mon..Be friendly with me!. Pada saat dia akan menoleh, Mike datang dan mengamit tanganku menjauh dari Megan dan masuk ke mobilnya, “Sial sial sial”, jeritku dalam hati.
“Mike, what the hell are you doing?”
“Oh Dian, what was that? We are a couple and I am taking you home”
“Ya but I…”, belum selesai kuselesaikan kalimatku, ia menciumku kira-kira 45 detik, aku akui mulai menikmatinya tapi sadar akan perbuatannya yang menarikku ke mobil, aku melepaskan ciumannya. Ia mendekatiku lagi, dan menciumku, tangannya mulai gerayangan dan aku tidak tahu tangan sebelah mana, sampai tiba-tiba pintu mobil disisiku dibuka dan sebuah tangan menarikku keluar. Aku kaget dan tidak menyangka megan melakukan itu, Mike keluar marah “Hey, you son of bitch! What the hell are you doing?”. Megan tidak menggubris dan mendorongku masuk ke mobilnya, Mike berusaha membuka pintu mobil sisiku tapi Megan sudah mengunci otomatis dan melaju. Kulihat Mike dari spion misuh-misuh, aku takut kalo Mike menyusulku dan memepet mobil ini. Lidahku masih keluh dan kurasa aku butuh sedikit air untuk mencerna apa yang baru saja terjadi, kurogoh tasku dan minum sisa air dari botol minumanku.
“You know what you were doing?” kata megan sambil memukul setirnya dengan keras.
“You know what you were doing?” ujarku meniru pertanyaannya yang justru membuatnya tambah kesal.
“You are out of mind, aren’t you? Doing such a thing at school and behaving like drunkers!!”
“ I have no idea if he does it out of the blue and why you get into this?”
“Shut up! You don’t understand what you’re saying”, akhiri megan sambil menginjak pedal gas kuat-kuat. Melaju dengan kecepatan 120 km, aku merasa pusing, “Meg, please don’t go faster”. Dia menyadari dan memperlambat mobilnya, aku mulai menangis entah apa aku harus marah padanya atau membenarkan perbuatannya. Mobil berhenti dan aku langsung melompat keluar seakan sedari tadi duduk dipapan yang dipasangi beribu paku, masuk rumah. Mama ternyata sudah pulang, tidak biasanya ia seawal ini.
“Hello, my dear. Glad to know that you’re home. We’re having our lunch”
“Oh mom, nice that you’re home too this early” ujarku sambil memeluknya.
“You can go get Megan, is she home?”
Aku tidak langsung menjawab,“I don’t think Megan wants to join us.” Mama memandangku “Are you both in fight?”. Aku menaikkan bahuku, kami lalu makan. Itu beda sekali rasanya, Megan biasanya selalu ikut makan jika mama mengundangnya atau memang dia sedang ada dirumahku saat mama memasak. Mama bercerita betapa Megan dan aku selalu memiliki satu benda special yang sama, seperti boneka Barbie limited edition yang masih tersimpan rapi diatas meja belajar kami, megan menghajar anak laki-laki yang selalu menggodaku, menemaniku jika sakit, dan banyak hal. Aku tidak dapat melanjutkan makan malamku, rasanya makanan seperti spons kering yang terpaksa kutelan. Mama duduk disampngku, memelukku “Honey, dengar jika salah satu dari kalian marah artinya saling sayang. Jangan biarkan hal sepele menghancurkan persahabatn yang manis ini, mama tidak akan tanya masalah apa sekarang yang kalian hadapi tapi mama harap kalian bisa seperti dulu lagi.”
Malam ini, aku tidur dengan mama. Mataku belum mau terpejamjuga, kulirik jam dinding tua diatas pintu, jam 12 sudah. Aku mencoba menebak-nebak apa yang Megan lakukan dikamarnya, apa ia juga memikirkan yang sama denganku. Sementara dikamar Megan, ia membuka-buka album yang berisi foto-fotonya dengan dian, terlihat begitu indah dan berharganya saat-saat itu, terbersit dibenaknya untuk meminta maaf tapi segera ditepisnya karena itu semua untuk kebaikan Dian. Betapa ia ingin menunjukkan siapa Mike sebenarnya, dan ia tidak berani membayangkan jika mike melakukan sesuatu yang buruk pada sahabat baiknya itu. Ia berdoa semoga Tuhan tidak mengijinkan itu terjadi, jika tidak ia tidak akan bisa memaafkan dirinya dan juga si bajingan Mike.
Besok tanggal 15, sudah tepat 2 minggu Dian jadian dengan mike dan selama itu pula sahabat karibnya, megan, tidak berbicara padanya. Mike masih tetap saja bergairah, tapi syukurlah Dian bisa membatasi diri dan tidak terlalu menuruti semua keinginannya. Kelas biologi selesai sebelum bel istirahat berbunyi, sebelum ke kantin untuk menemui mike yang selalu menungguinya disana, Dian pergi ke toilet, langkahnya tertahan dipintu masuk toilet. Ia melihat orang yang sangat dikenalnya, yaitu mike sedang bercumbu dengan Nicole, anak kelas X-1, teman Megan. “Mike”, jerit Dian tidak percaya apa yang dilihatnya sekarang. Mike terkejut dan berusaha menjelaskan sambil mendekati dian, Mike memeluk dian tapi dian seakan jijik pada Mike dan berlari keluar toilet. Mr. Irwan melihat Mike keluar dari toilet cewek dan memanggilnya, ia terkena sanksi dan dikirim ke ruang kepsek.
Benar apa yang dikatakan Megan bahwa mike brengsek, baru ia sadari betapa bodohnya ia selama ini karena cintanya pada Mike, tidak mendengarkan Megan. Ia menangis digudang sekolah, menumpahkan kekesalannya, dan merasakan patah hatinya untuk pertama kalinya, tapi bukan ini yang seharusnya ia alami. Harusnya ia patah hati dengan orang yang tepat, cinta murni, dan seorang sahabat yang menghiburnya. Bel berbunyi, Dian tidak beranjak ke kelas, ia bingung takut matanya yang sembab akan memunculkan berbagai pertanyaan dikelasnya. Ia memilih pulang dengan beralasan sakit pada pak satpam yang menjaga pintu gerbang, karena muka dian yang kelihatan sakit, pak satpam tidak meminta surat sakit dari klinik yang biasanya harus diserahkan. Pak satpam membantu dian menyetop taksi, serta mengucapkan segera lekas sembuh.
Dikamarnya Dian membenamkan wajahnya diatas bantal, ia menjerit sekuat tenaga, memukul-mukul kasurnya, lalu menyapu semua benda yang ada diatas meja belajar dan meja riasnya. Ia kesal sekali, seakan ingin meledakkan isi kepalanya sendiri. Bagaimana mike menipu, mengkhianati cinta pertamanya, dan berselingkuh darinya. Dian berdoa semoga mama tidak lekas pulang untuk melihat kekacauan ini.
Di sekolah berita tentang perselingkuhan mike sudah tersebar kemana-mana, Megan yang diberitahu Matt tentang ini segera menenteng tasnya dan menuju kelas Mike. Dilihatnya Mike bersiap pulang.
“Hey Mike! You made a big mistake” ujar Megan dan mengayunkan tas pinggangnya yang berisi kamus spanyol dan Indonesia setebal 10 inch ke muka mike. Mike yang tidak siap dengan keadaan ini langsung terjatuh kebelakang. Hidungnya berdarah, Mike mengusapkan jarinya kehidung dan melihat darah dijarinya, ia berang dan tangannya terangkat seperti hendak memukul balik Megan. Megan mengayunkan lagi tasnya, dan lagi-lagi mike jatuh. Mike tidak terima dan menyerang Megan, hessel yang sedang melintas berlari melindungi megan dengan menahan Mike yang seperti cacing kepanasan, “ I’ll pay you back son of bitch!”. Matt tergesa masuk dan segera menarik Megan keluar.
Megan tahu apa yang harus dilakukan, ia langsung kerumah dian. Dilihatnya kamar dian yang berantakan, dan seorang gadis yang patah hati berbaring tertelungkup diatas kasur sambil mendengarkan music yang terlampaui keras dari DVD, jika saja tetangganya bukan megan pasti sudah dilaporkan polisi.
“Dian, are you okay? Look at me!”, suara lembut megan mengagetkannya yang tidak mengetahui sejak kapan megan datang. Dian beranjak dan mengusap-usap matanya, “ I need a big hug”. Suaranya sangat memelas sehingga melelehkan hati megan, “ Come to me, my dear!”. Megan memeluknya erat sekali, mengusap air mata, dan membelai rambut Dian “ I know this all comes to end”.
Dian terisak-isak, ia merasakan betapa hangatnya pelukan ini yang sudah 2 minggu ini tidak ada. Berpelukan sampai keduanya tertidur, dan bangun tepat pukul 7 oleh dentangan jam kuno dibawah tangga.
“Are you still sad? C’mon forget him”, bisik Megan padaku.
“Easier said than done”, sahutku sambil menarik selimut sampai menutupi kepalaku. Megan meninggalkanku, aku masih tidak mau bangun. Tak lama Megan datang lagi, kuintip melalui selimutku dia sudah berjaket dan berganti baju. Menarik selimutku dan tidur disamping sambil memelukku seperti aku gulingnya.
“I’ll buy you banana ice cream with dark chocolate on it”
“I don’t have bucks”
“C’mon my lil sister, get dressed up! I treat you”, bujuknya menyeret kakiku. Aku tersenyum memandangnya tidak berkedip, menciumnya bertubi-tubi di pipinya sehingga ia kegelian, dan aku pun bersorak “Good offer!”. Lalu seperti biasa kami tertawa bersama, oh betapa mudahnya melupakan patah hati yaitu dengan sebuah ice cream dari sahabatku tersayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar