Hari pertama sekolah di SMA Borne, dengan langkah takut-takut dian memasuki gerbang sekolah. Lalu mengamati sekelilingnya dan taman bunga sekolah yang berada disamping lapangan bola basket membuat dain tertarik mendekat. Bangunan sekolah yang masih baru, dan berpuluh-puluh kelas mengelilinginya. Dari kejauhan dilihatnya mobil-mobil mengkilap berpakiran di parkiran sekolah, tidak ada yang membawa sepeda motor apa lagi naik bus umum. Deretan toilet wanita bersebelahn dengan toilet pria berjejer bersih dan putih, aroma karosel tercium dari kejauhan. Setelah puas memandangi bunga-bunga, Dian berjalan dikoridor sekolah sambil mencari kelas yang akan ditempati. Beberapa anak yang berpapasangan dengannya memandangnya dari ujung kaki sampai kepala seakan ada sesuatu yang salah. Dian diam saja, dan terus saja berjalan sampai ia melihat seorang penjaga kebun yang sedang menyiangi tanaman didepan ruang guru.
“Permisi pak , saya murid baru disini sedang mencari kelas X-A”
“Oh kelas X-A, non? Itu ada dipojok”, sahut pak kebun sambil menunjuk kearah pojok utara. Dian mengucapkan terima kasih dan bergegas menuju kelas X-A. Rasa takjub menjalar dihatinya, bagaimna tidak kelas itu sangat bersih dan luas. Rumahnya saja tidak ada separuhnya dari ruang kelas itu. Dinding dan lantainya putih, bersih, mengkilap seolah ada lapisan anti noda dan harum wangi lavender dari pewangi elektrik ruangan tertempel dibawah AC. Sungguh luar biasa serta beberapa LCD dan alat peraga science tertata rapi di lemari kaca. Dian memilih duduk dideretan belakang, sengaja ia akan mengamati bagaimana nanti teman-teman barunya. Sambil membaca buku-buku pelajaran yang ia sudah terima saat pendaftaran murid baru, beberapa murid datang dan mulai mengisi bangku-bangku yang tadinya kosong. Sudah lama menunggu tidak ada seorangpun yang berniat duduk sebangku dengannya. Dian mulai merasa aneh karena beberapa murid cewek berbisik-bisik sambil menatap kearahnya, ia mulai merasa tidak nyaman.
Jam pertama pun selesai, waktunya istirahat dan makan siang. Dian menuju kantin dan sudah banyak murid-murid yang mengantri. Hari ini tak satupun teman sekelas yang mau menyapanya, apakah ini karena bersekolah di sekolah elite yang rata-rata sudah tidak ada lagi rasa empati terhada sesame atau apakah karena ia satu-satunya anak orang miskin disini,’ piker Dian mulai menerka-nerka.
Jam kedua pun dimulai, Ibu Atik masuk dan memperkenalkan diri lalu melihat absensi murid-murid dan memanggil nama mereka satu persatu. Kertas soal mulai dibagikan dan ini merupakan tes awal untuk pelajaran kimia. Dian berhasil mengerjakannya dengan mudah dan maju kedepan untuk mengumpulkannya. Saat akan maju kedepan, tiba-tiba seseorang menjegal kakinya dan ia pun tersungkur. Hari pertama yang berat.
Esoknya Dian bersiap-siap berangkat sekolah, ia berpamitan pada ibunya. Tak banyak yang ia lakukan pagi itu, hanya mengulang kembali pelajaran yang kemarin ia terima. Ia merogoh lacinya dan menemukan secarik kertas bertuliskan “ Kamu anak miskin, tidak akan lama bersekolah disini”. Dian segera membuangnya dan ketakutan, akankah ancaman ini benar atau main-main,”pikirnya. Seorang murid cantik masuk bersama beberapa murid yang tidak kalah canti, menghampiri Dian dan tanpa disangka-sangka menggebrak meja Dian. Dian kaget dan memandang mereka satu persatu, “Maaf ada apakah ini?”, tanyanya dengan sopan.
“Kamu tau kenapa? Kami tidak suka kamu ada disini, kamu hanya gembel”, sahut Murid cantik itu yang bernama Esa terlihat dari papan nama yang menempel dibajunya.
“Hari-harimu akan berat dan akhirnya kamu tidak tahan bersekolah disini!”, ancam Esa lagi. Bel berbunyi, memaksa Esa dan gengnya menyingkir dari bangku Dian. Sepanjang pelajaran, Esa tak hentinya memandangi dian dengan sengit. Dian mulai merasakan tidak nyaman, dan ingin segera menyingkir dari kelas. Saat istirahat, Esa mencegat dian yang akan keluar dari kelas.
“Ingat anak manis, saya akan mengembalikan kamu ketempat asalmu yaitu tempat sampah”, sambil berbisik ditelinga Dian.
“Dan ingat! Saya tidak main-main”, tangannya mencengkram erat tangan Dian. Begitu dilepaskan tangannya, Dian pun segera pergi. Entah kenapa orang miskin seperti tidak ada harganya, apakah orang harus kaya untuk bisa dihormati,”pikirnya sedih.
Sudah seminggu Dian bersekolah dan pada suatu pagi, tiba-tiba ia mendapati sebuah tas disamping tempat duduknya. Itu artinya ada seorang murid yang akan duduk dengannya, dian sedikit senang dan berharap temannya itu akan sedikit ramah padanya. Ia pun menunggu siapa pemilik tas itu, dan seorang murid cantik yang terlihat elegant dan lembut dudk disampingnya saat bel akhirnya berbunyi. Dian pun coba melempar senyum dan ia membalasnya.
Kelas Biologi hari ini dimulai, kelas Dian dibagi beberap grup untuk mengerjakan proyek membelah katak. Kelompok dian berada didekat kelompok Esa, dian pun berusaha menjaga jarak agar tidak membuat marah anak itu. Saat Dian mengambil alcohol didekat wastafel, tanpa sengaja ia menyenggol tangan esa yang melakukan pembedahan. Esa pun sangat marah dan mendorong dian, perkelahian tak dapat dielakkan. Esa tidak terima dan terus berusaha memukul Dian, beberapa anak tidak melerai mereka malah mengadunya dan membuat Esa semakin panas. Dian menutupi mukanya dengan tangannya yang memegang pisau kecil, esa menghantankan kepalan tangannya kea rah wajah Dian.
“Arggggggh”, jerit esa, tangannya terkena pisau kecil itu. Darah mengalir dari tangannya, ia pun bersiap membalas Dian dengan mengambil pisau kecil disampingnya, ditusukkan pisau itu ke perut dian. Semuanya terperanjat, dan begitupun Esa. Dian yang berdiri dipojok kelas memejamkan matanya. Didi, seorang cewek berperawakan tinggi besar, menangkap kepalan tangan esa sehingga pisau yang hampir mengenai Dian pun tertahan.
Ibu Mela datang, dan kaget dengan peristiwa itu. Ia mengambil pisau ditangan Esa, dan membawa dua anak itu ke kantor. Mereka berdua dinasehatin, mengisi buku pelanggaran dan berjanji tidak melakukannya lagi. Keluar dari kantor, esa langsung menyeret dian ke kamar mandi. Dipojokkan tubuh Dian ke dinding dengan keras.
“Dengar, kamu akan mati! Kamu dengar itu!”, geram esa. Dian pun berlari ke kelas
Aku tahu bahwa kau tidak berhak menerima kebahagiaan saat aku melakukan banyak kesalahan di masa lalu. Semua anggota keluargaku membenciku, memperlakukanku seperti sampah yang bisa dibuang kapan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar