Untuk kesekian kalinya ia merasakan rasa takut, kegagalan membayanginya, tangisnya mulai pecah, ia menelungkupkan kepalanya diatas lututnya yang ditekuk. Malam ini untuk pertama kalinya, ia akan tidur dikolong jembatan yang dingin dan kotor. Ia mengamati tempat duduknya, membersihkan beberapa kerikil dan sampah plastic yang berserakan, lalu menggelar Koran bekas yang ia punggut saat menuju kolong ini. Ia merebahkan tubuhnya diatas tanah semen, melipat tangannya dan menaruh dibelakang kepalanya. Ia tak dapat melihat bintang seperti yang ia biasa lakukan dari jendela kamarnya, hanya atap beton yang Nampak. Beberapa orang yang menetap di kolong itu sudah terlelap, hanya terdengar lalu lalang kendaraan yang melintas dijalan tol. Dian mencoba menutup mata, namun airmatanya yang terus mengalir, menyesali ini semua, mengenang jalan hidupnya yang tak selalu manis, dan akhirnya terlelap.
Pagi menjelang, dinginnya udara yang bebas berhembus membuat Dian terjaga lebih awal. Diliriknya jam tangan yang melingkar ditangan kirinya, masih pukul 4 pagi. Segerombolan anak muda melintas, agak sempoyongan mereka berjalan, dan bau alcohol menyengat. Dian bersikap biasa saja, khawatir mereka akan berbuat diluar dugaan. Benar saja, salah satu diantara mereka melihat wajah dian yang ayu dan berbisik ke teman-temannya yang lain. Mereka berhenti berjalan, dan berpaling kea rah Dian.
“Wah, rejeki kita nih. Pagi-pagi udah ada garapan”, kata pria berbaju hijau.
“Benar Bos. Ayo kita buat dia senang”, sahut mereka beramai-ramai. Dian ketakutan dan mengambil kuda-kuda untuk lari. Tangannya gemetar dan ia harus berusaha berpikir jernih agar bisa bertindak cepat. Mereka mendekat, dian mengambil pasir didekat kakinya dan melemparkan kearah mereka. Beberapa mengaduh matanya perih, tetapi beberapa mulai marah.
“Kamu melawan, hah?”, berang pria yang dipanggil boss. Dian langsung berlari cepat, tetapi mereka tidak kalah cepat. Hanya asal berlari, dian memasuki gang-gang kecil, merobohkan apa saja didepannya untuk menghalangi gerak mereka. Ia berdoa dalam kekalutan, tak bisa bersuara untuk meminta pertolongan, kakinya tersandung-sandung tapi ia terus berlari. “Andai ia masih dirumah, pasti ini tidak akan terjadi, ah tetapi sama saja mama papa akan memperlakukannya lebih buruk bahkan”, pikirnya. Sampailah ia di simpang gang, ia memilih kearah kanan dan terus berlari dan ia merasakan seolah-olah jiwanya terangkat dari tubuhnya dan dapat melihat jelas bahwa dirinya sednag terperangkap dibawah sana, jalan buntu dan dinding setinggi rumah menjulang. “Matilah saya”, pikirnya.
“Hahaha, Gadis kecil, larimu cepat juga. Saya yakin kamu akan bermain hebat juga dengan kami”, tawa si Boss.
Dian berlutut didepan mereka yang berjarak 3 m, “Tolong, jangan sakiti saya”.
“Hmm..Hmmm…Bukan begitu, justru kami akan membuatmu senang dan melayang. Kami berlima punya ekstasi dan kehangatan”. Merekapun semakin mendekat, dian hanya pasrah saja dan tahu mereka akan melakukan apa kepadanya. Matanya terpejam, masih tersengal-sengal, keringatpun mengucur dipeluhnya, bisa merasakan tubuhnya bergetar karena takut.
Nampaknya Tuhan tidak pernah membiarkan umatnya dalam keadaan seburuk ini, tiba-tiba beberapa dari mereka menjerit terkena hantaman papan kayu yang tebal. Entah darimana itu berasal, Dian bingung mencari sumber datangnya papan itu. Si Boss memutar badannya, mencari-cari siapa yang melakukan itu. 3 temannya telah roboh bersimbah darah, bagaikan kuda jantan yang baru saja disayat oleh majikannya. Dari kegelapan, muncul sesosok entah itu pria atau wanita membawa sebuah kayu panjang dipundaknya. Langkahnya terdengar jelas, mungkin ia memakai sepatu boot asli yang sol sepatunya berlapis besi. Samar-samar ia mulai terlihat, rambut keriting terurai, dan ia perempuan. Apapun itu dian sangat berterimakasih karena telah menyelamatkan kehormatan juga mungkin nyawanya.
“Hei, anjing semua lho ya. Beraninya lawan satu cewek”, seru cewek itu masih menjaga jarak dengan bos dan satu temannya itu. Raut mukanya masih belum terlihat jelas tapi dari suaranya dian menyimpulkan dia pasti wanita tegas.
“Eh Lo ga usah ikut campur ya, ini masalah kami. Dan lo kudu tanggung jawab karena melukai kawan-kawan gua”, sahut si Boss sambil ia berlari maju menyerang cewek itu. Dengan sigap, ia menghindar dan memukul punggung si Boss. Si boss terperosok dan mengerang, ganti temannya yang menyerang si cewek tetapi ia terlalu kuat untuk dilawan. Dihantamkan papan kayu itu ke kepalanya yang botak, dan tanpa rasa kasihan cewek itu menendang habis-habisan perut si botak itu. Terlihat dari wajahnya yang keras dan mata yang siap membunuh siapapun. Lalu ia berbalik menghajar si Boss yang sudah tidak bersuara, kemungkinan ia mati atau koma.
“Tolong, bisakah anda hentikan itu?”, pinta dian. “Mereka mungkin sudah jera dan tidak akan berbuat demikian lagi”,. Si cewek itu berhenti, menatap dian, dan meletakkan papan kayu itu. Dia mendekat kearah dian dengan tatapan masih seperti saat ia menghajar mereka.
“Maaf, saya tidak berniat membuat Anda marah”, Dian mulai ketakutan mengetahui bahwa si cewek itu sedang mendekatinya dengan tatapan macam itu. Dian masih tetap diposisinya berlutut sama seperti saat pria-pria itu berdiri didepannya.
“Ayo bangun!”, perintahnya. Dian pun membuka matanya, dan menurut. Si cewek tadi menggerayangi badan dian, memeriksanya dari atas sampai bawah, dan membisiki sesuatu “Kamu tidak apa-apa?”, dian menjauh karena tidak mengira si cewek tidak melukainya.
“Saya baik-baik saja, terimakasih”, sahut dian lemah. Sadar bahwa bahaya sudah melewatinya, kakinya lemas dan seakan tidak bisa menopang berat tubuhnya. Dian jatuh terduduk lalu menangis didepan si cewek, dipeluknya kaki itu erat. Lega sekali, ia bersyukur bahwa ia bisa saj diperkosa lima orang tadi dan bisa juga setelah itu dibunuh, mayatnya dibuang disungai untuk meninggalkan jejak.
Si cewek itu meraih tangan dian yang masih melingkar dikakinya, memeluknya sambil menenangkannya. “Sudah tidak apa-apa, mereka tidak akan mengganggumu lagi”, kata cewek itu sambil menyeka bulir-bulir air mata Dian. Dian mengangguk lalu memeluknya sekali lagi.
“Ayo kita cepat pergi dari sini, sebelum polisi menemukan kita disini”, ujarnya sambil menunjuk dua tubuh pria itu. Nampaknya sudah pagi benar, dan cahaya matahari perlahan masuk ke barat dan terlihat jelas tubuh dua orang itu tertelungkup dengan digenangi darah. Dian bergidik ngeri, ia pun mengikuti si cewek itu.
“ Nama saya Dian”
“Saya Didi”
Masih dengan cueknya berjalan sambil kedua tangan mereka bergandengan. Dian menurut saja kemanapun didi membawanya pergi. Didi pun tiba-tiba berhenti didepan sebuah rumah tua gubuk, dian menubruknya dari belakang karena sedari tadi pikirannya masih menerawang akan kejadian tadi.
“Maaf, maaf, saya tidak sengaja”, kata dian sambil menunduk. Didi tidak menjawab dan menatap dian, sepertinya ia akan mengutarakan sesuatu dan benar saja.
“Kita berpisah sampai sini, dan kamu pun aman. Apa kamu tahu arah pulang? Saya rasa kamu punya rumah”.
Dian menggeleng lemah, “Saya kabur dari rumah dan saya tidak akan pulang”. Dian berbohong karena mama papanya lah yang membuatnya pergi. “Saya akan kembali lagi ke kolong jembatan, dan mungkin akan tinggal disana untuk beberapa waktu”.
Didi kelihatan berpikir lalu berkata, “Baiklah Nona muda, kalo itu maumu tapi ingat pria-pria jahat lain bisa datang melintas dan melihatmu sangat menarik. Kejadian baru saja mungkin akan berulang”. Sangat santai sekali ia mengutarakan hal itu, seperti ia menceritakan sesuatu yang biasa pada anak kecil yang ketakutan. Dianpun merapatkan tubuhnya ke Didi, memegang tangannya, dan mulai menangis sama seperti anak kecil yang baru saja mendengar hal menakutkan.
“Saya tidak tahu kemana lagi harus pergi”, isaknya.
“Ayo masuk!”, perintah Didi sambil menggandeng tangan dian. Mereka duduk di amben kayu yang ada dirumah itu, hanya ada satu petak ruangan kecil yang disekat jadi beberapa ruang lagi. “Entah rumah siapa itu yang dengan seenaknya dimasuki”,pikir Dian.
“Saya tahu kamu tidak ada tempat untuk tinggal, karena tidak mungkin kamu berkeliaran sepagi itu diluar kalo kamu tidak bermasalah. Dengar! Ini rumah saya, dan saya tinggal dengan ibu saya. Kamu bisa tinggal disini untuk sementara”, kata Didi. Dian terkejut tidak menyangka ini rumah didi dan juga didi sekali lagi berbaik hati mengijinkannya tinggal. Masih ada keberuntungan untuknya disaat terburuk datang. Tak bisa berkata-kata lagi, dian memeluk Didi sebagai ucapan terimakasih.
Siangnya Didi bersiap pergi, dia menjelaskan pada dian bahwa ia bekerja sebagai penjaja Koran dilampu merah dan ini gilirannya berjualan karena shift pagi sudah diisi oleh anak jalanan lainnya. Ia pun menjelaskan pada Dian bahwa sebentar lagi ibunya akan pulang tapi ia menunggu ibunya dulu sebelum berangkat. Dian merasa dirinya sudah terlalu banyak merepotkan Didi, dan ia pun menawarkan untuk membantu Didi berjualan tapi didi menolak dengan alasan bahwa Dian harus belajar berdagang sebelum terjun ke lapangan.
Tak lama Ibu Didi pun pulang, saat ia akan masuk rumah, didi buru-buru berbicara dengannya tentang dian. Dian tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan tapi dian bisa melihat raut muka prihatin ibu didi saat mendengarkan didi berbisik. Mungkin didi telah bercerita tentang kejadian tadi.
Didi dan ibunya mendekati dian, “Yan, ini ibu saya. Namanya Bu Dewi. Kamu bisa panggil ibu kalo kamu mau”, jelas didi sambil menarik tangan dian dan bersalaman dengan bu Dewi. Bu Dewi merangkul dian dan berbisik, “kamu bisa tinggal disini kapanpun kamu mau dan saya harap kamu senang”. “Terimakasih Bu”, balasnya penuh haru. Hari ini ia belajar bahwa Tuhan tidak akan meninggalkannya sedetikpun.
Bu Dewi merupakan sosok ibu yang lembut dan sabar, ia pun menjelaskan panjang lebar tentang hobi didi yang suka berkelahi namun sebenarnya baik hatinya. Didi tidak suka melihat kekerasan terjadi disekitarnya dan selalu ikut campur jika orang lain disakiti. Ayahnya meninggal saat ia berumur 5 tahun, dan kehidupan jalanan sudah mereka jalani sejak saat itu. Didi hanya bersekolah samapi SMP saja, kemudian ia memilih bekerja dari pada bersekolah padahal Bu Dewi sudah memaksanya dan mengatakan bahwa ia akan bekerja keras demi memenuhi kebutuhan sekolah dewi.
Hari-hari mereka bertiga lalui dengan sederhana dan bahagia, tiap sore Didi sudah pulang dan mereka bertiga akan bercerita apa saja untuk mengisi malam karena tidak ada TV maupun radio sebagai hiburan. Dian memaklumi itu, tetapi keadaan ini lebih bermakna bagi mereka daripada menonton TV atau mendengarkan Radio.
“Oh iya, Bu, Didi, saya bosan dirumah saja. Saya ingin bekerja juga membantu, besok saya akan mulai melamar dibeberapa tempat. Semoga ada yang membutuhkan saya”.
“Sekolah dimana kamu?”, tanya Didi.
“Saya bersekolah di SMP Truant dan baru saja lulus”.
Didi dan ibunya agak kaget mendengarnya karena SMP Truant merupakan SMP International dan elit seantero Jakarta. Pastilah dian anak orang kaya,”pikir mereka tetapi mereka diam saja dan tidak berani bertanya lebih lanjut lagi.
“Baiklah kalo kamu mau negitu, tapi saya tidak ingin kamu menjajakan Koran atau berkeliaran dijalan seperti saya”, imbuh didi karena Didi tau betul bahwa penampilan dian yang putih, ayu, bersih, dan manis akan menarik perhatian orang-orang jahat yang berhidung belang. Disambut dengan anggukan dian.
“Kamu tidak ingin melanjutkan sekolah kamu lagi? Kelihatannya kamu pintar”, tanya didi. Dian hanya menggeleng lemah,”Entahlah”.
Malampun semakin larut dan mereka bertiga mengakhiri perbincangan itu dan pergi tidur.
Keesokan harinya, dian bangun lebih awal, segera menyapu dan mengepel rumah lalu mandi dan bersiap mencari kerja. Didi masih tidur dikamarnya dan tanpa mengusiknya sedikitpun, dian berjingkat masuk ke kamar Didi dan menumpang berkaca.
Dari pintu ke pintu rumah makan, dian melangkah lunglai. Pupus sudah harapannya untuk mencoba membantu perekonomian bu dewi, tidak mungkin terus-terusan iamerepotkan dan berdiam diri dirumah. Memang tidak mudah mendapatkan kerja dengan ijasah SMP apa lagi dengan usia masih dibawah umur. Setiap kali para pemilik rumah makan membaca CV dian, mereka semua mengerutkan dahi, takjub sekaligus heran bagaimana bisa lulusan SMP TRUANT menginginkan pekerjaan sebagai pelayan dan juga kahwatir memperkerjakan anak dibawah umur karena Razia pekerja sering dilakukan oleh pejabat daerah. Dian berhenti disebuah warung, dan memesan minuman botol dingin. “Ah segar sekali”, batinnya. Sambil terus berpikir kearah mana lagi dia akan pergi. Sebuah mobil Honda jazzmetalic berhenti didepan warung, seorang laki-laki remaja keluar dan membeli rokok. Sambil duduk disamping dian, ia menyedot rokoknya dalam-dalam. Dian melihat tanda pengenal sekolah menengah atas tertempel di saku seragamnya, tapi tidak jelas asal sekolahnya. Lalu remaja itu masuk mobil dan pergi.
Dian segera melanjutkan pencariannya, ia berjalan terus dan dari kejauhan melihat rumah makan padang yang cukup besar. Tampak ragu-ragu tetapi akhirnya masuk juga ia ke rumah makan itu. Diutarakan niatnya pada pekerja yang ia temui dan pekerja itu mengantarnya ke kantor pengelola rumah makan ini yang terletak disamping dapur. Dipersilahkan masuk oleh bapak setengah baya yang kemungkinan pemilik warung ini, Pak Ian namanya. Dian mengutarakan maksudnya dan si Bapak dengan seksama menyimak Dian.
“Baiklah, saat ini saya memang sedang kekurangan pegawai. Saya terima kamu kerja disini dengan catatan rajin bekerja dan jujur”, tukas pak Ian.
“Benar pak?”, kata dian tidak percaya sambil menjabat erat tangan pak Iyan.
“Sekarang langsung kerja, Bisa?”
“Bisa pak, Bisa!”, Dian mengikuti Pak Iyan ke Dapur dengan mata berbinar-binar. Hilang semua lelah dan khawatirnya. Dian diperkenalkan satu persatu pada semua karyawannya, sangat ramah mereka dengan senang hati memberi tahu Dian mana saja yang harus dikerjakan. Kebanyakan dari mereka berumur diatas 25 tahun. Dian dengan cekatan mencuci piring lalu mengantar pesanan ke meja-meja. Pak Ian terlihat puas mengamati dari balik jendelanya.
Sementara itu Bu Dewi dan Didi cemas menunggu Dian, ini sudah pukul 8 malam tapi Dian tak kunjung pulang. Didi khawatir kalau-kalau Dian diganggu orang jahat, atau tersesat. Didi memutuskan keluar rumah dan mencari Dian. Didi mencari dikolong jembatan, menanyai setiap orang yang biasa mangkal diujung jalan, dan menyuruh teman-teman pedagang Koran mencari Dian. Tak pernah Didi merasa sekhawatir ini, ia takut Dian kenapa-kenapa karena ia tahu Dian tidak begitu pintar membaca situasi.
Sesosok cewek sedang melangkah riang diujung jalan, Didi langsung berdiri dan mengenali sosok siapa itu. Ia berlari dan benar saja itu Dian. Dian tersenyum kearahnya tanpa rasa berdosa.
“Kamu kemana saja, hah?”, tubruk Didi ke tubuh Dian. Dian hampir nyungsep ke pegangan jembatan.
“Ih..Ati-ati, saya bisa jatuh ke sungai ini”.
“Ayo cepat pulang dan jelaskan, Ibu cemas menunggu kamu”, kata Didi tanpa menoleh ke Dian, dan menyeretnya pulang dengan setengah berlari.
“Ih Kak, jangan cepet-cepet, saya capek nih”, ujar Dian tapi yang diajak bicara tidak menggubrisnya.
Sampai dirumah, Ibu Dewi langsung memeluk Dian dan menanyai apakah ia baik-baik saja. Diperiksanya tubuh anak itu, dan disandarkan ke badannya, ibu dewi menghela nafas lega. Didi masih uring-uringan.
“Kamu dari mana selarut ini? Kepala saya hampir pecah mikirin kamu, Ibu juga”, seru Didi
“Benarkah?”, sahut Dian, takjub bahwa ada orang yang sangat mengkhawatirkannya. Matanya membulat senang, dan dengan manja ia bergelayut dipundak Didi, Dian tahu bahwa Didi orang yang kaku, jarang mengutarakan perasaannya, dan bersikap seolah tegar. Didi merasa canggung dan melepaskan gelayutan dian.
“Dian, saya serius, saya marah karena kamu pulang malam”.
“Ayo sudah, kalian berdua tidur”, lerai Ibu Dewi. Dian meninggalkan Didi dan masuk kamar.
Esoknya Didi masih tidak mau berbicara dengannya, ia bingung harus bagaimana lagi. Waktunya berangkat kerja, Dian berpamitan pada Ibu lalu Didi. Didi diam saja. Dian akhirnya berangkat.
“Yan”, panggil Didi.
“Ya?”
“Pulang jam berapa nanti?”
“Jam 8 kak! Ada apa?”, senang akhirnya Didi mau berbicara lagi padanya.
“Saya jemput didekat tempat kerja kamu ya? Bahaya kalo sendirian”.
Dian mengangguk senang dan berbalik arah memeluknya, Didi kaget akan reaksi Dian yang mudah sekali mengekspresikan dirinya. Dibelainya rambut Dian seperti adiknya sendiri. Ibu Dewi yang melihat tingkah kedua anak itu tersenyum, merasa bahwa ada perubahan baik di diri Didi yang dulunya tertutup dan jarang bicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar