Semua yang kulakukan hanya demi kakakku. Dia menderita penyakit yang tidak biasa setiap dua minggu sekali harus cuci darah di rumah sakit dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Aku dan kakak tinggal dirumah sepetak perkampungan kumuh. Baru 2 bulan menempati rumah ini. Kotor dan bau tentu saja belum bisa kami biasakan dengan hidung dan mata. Kakak berusia 19 tahun, putus kuliah sedangkan aku baru berusia 15 tahun bersekolah di SMU. Aku yang saat itu bekerja sebagai pencuci piring di rumah makan padang dan kakak hanya terbaring dirumah menunggui kepulanganku yang selalu membawa makanan sisa. Kami syukuri keadaan ini tetapi yang membuatku sedih adalah kondisi kakak yang tak kunjung membaik. Kakak membutuhkan banyak vitamin dan cuci darah segera.
Pagi ini aku berangkat sekolah tanpa sempat makan pagi. Setiap pagi aku mengurus kakak, membersihkan rumah, memasak, serta mencuci baju. Setelah urusan rumah selesai aku menuju sekolah dan pukul 2 siang langsung ke tempat kerja. Aku bekerja 5 jam sehari dengan gaji 35ribu rupiah. Itu sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari tapi tidak dengan kebutuhan berobat kakak. Pemilik rumah makan sangatlah baik padaku dan memperbolehkanku membawa makanan yang tersisa di tempatnya. Rumah makan ini tidak pernah sepi dari pengunjung yang ingin merasakan kenikmatan masakan padang. Aku pulang dan menyiapkan 2 piring untuk aku dan kakak. Kami makan sangat nikmat dan penuh tawa. Seperti biasa wajah kakak yang pucat menunjukkan kelelahan yang luar biasa, aku tak kuasa menatapnya. Air mataku mengalir tanpa kusadari lalu segera kuseka, tak ingin membuat kakak merasa lebih sedih lagi. Aku berlari menuju kamarku, kupecahkan tabungan ayamku yang selama ini aku sembunyikan dibawah tempat tidurku. Aku menghitungnya perlahan, berharap cukup untuk pengobatan kakak. Diluar dugaan semuanya terkumpul Rp.675.900, aku rasa ini cukup untuk itu. Aku segera memakaikan baju dan sweater pada kakak. Dia sedikit kebingungan dengan tingkah lakuku. Aku diam saja lalu tersenyum manja kepadanya seraya berkata bahwa kita akan ke rumah sakit. Dia menatapku tak percaya dan berkata bahwa ia tak punya uang sama sekali. Aku menuntun lengannya dan berjalan perlahan sambil menunggu taksi yang mungkin saja lewat. Taksi dating dari arah berlawanan dan segera membawa kami kerumah sakit. Kakak memasuki ruang pemeriksaan dan aku menungguinya diruang tunggu. Tiba-tiba dokter keluar dan menyuruhku mengikutinya ke ruangannya.
‘Kakak anda harus segera di operasi, cuci darah tak kan bias menolongnya’.
‘Berapa biayanya dok?’Kalimat ini langsung terucap begitu saja.
‘Sekitar 30juta’,sahutnya. Aku gemetar dan tak terbendung airmataku.
‘Kapan operasi bisa dilakukan, dok?’.tanyaku
‘Bulan depan karena dokter ahli kami tiba dari studinya di amerika’. Lanjutnya.
‘Baiklah dok, lakukan operasi itu. Apapun akan saya lakukan demi kakak saya’. Tangisku
Aku membawa kakak pulang, didalam taksi aku melihat wajahnya yang pucat. Mungkin ia kesakitan akibat pemeriksaan tadi. Dalam ruang kamarku, aku menerawang jauh mencari cara apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh uang itu. Aku berdoa malam itu pada Tuhan semoga ada jalan. Disekolah aku duduk di kelas X, aku cukup pintar dikelas sehingga beberapa teman yang ‘berduit’ memusuhiku karena tak rela sekolahnya dimasuki anak miskin sepertiku. Sekumpulan anak perempuan yang menamakan diri mereka ‘Mercy’ sangat membenciku. Setiap kali menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh guru, mereka seakan-akan tak rela jawaban tepat keluar dari bibirku. Aku baru saja akan melangkah keluar kelas saat bel istirahat berbunyi, tiba-tiba mereka menyeretku dan mebawaku ke kamar mandi. Sarah, Andrea, dan Mira memegangi kedua tangan dan tengkukku sedangkan Eva berdiri di hadapanku membawa gulungan Koran. Dia mengibas-ngibaskan di kedua pipiku. Sakit tapi dia tak peduli bertubi-tubi melakukannya. Darah keluar dari hidungku membuatnya berhenti dan mencuci mukaku dengan air dan berbisik padaku ‘Lebih baik diam atau semuanya semakin buruk’,. Aku terduduk dan menangis. Aliya,teman sekelas, masuk tak sengaja melihatku, menghampiriku lalu membantuku berdiri. Dia membawaku ke ruang UKS tapi aku menolak karena kelas akan segera dimulai, aku mengucapkan terimakasih padanya. Diruang kelas aku melihat geng itu tersenyum puas, aku kalah lagi. Itulah mereka yang selalu mengganggu dan membuat tubuhku memar bahkan berdarah. Aku jelas tak berani melawan kekejaman mereka Karena peraturan di sekolah ini sangatlah keras juga aku bersekolah disini karena beasiswa yang kudapat, aku tak mau beasiswa ini tercabut dan harus membayar SPP yang lumayan mahal. Aku berdoa pada Tuhan semoga ketidak adilan ini cepat berakhir, baru saja berdoa, Ibu Ani, guru bahasa Inggris masuk. Aku tidak tahu kenapa, hanya saja aku merasa Ibu Ani tidak begitu menyukaiku. Selalu saja ada kesalahan pada diriku jika Ibu Ani mengajar, Mercy sangat senang pada Bu Ani, seolah-olah dia mendapatkan kekuatan besar untuk mengahncurkanku. “ Barangsiapa yang tidak membawa handout, silakan maju kedepan dan jelaskan alasan yang masuk akal, kalau tidak, ibu akan hukum”, dengan suara lantang Ibu Ani meneleliti seluruh ruang dan matanya berhenti tepat kearahku saat tangan mungilku terangkat keatas. Aku tahu waktu ini, detik ini, dan tarikan nafas ini akan terasa lebh berat, dan aku pun maju kedepan, sudah tahu benar apa yang harus kulakukan.
“Kenapa? Belum beli juga? Saya sudah katakan bahwa anak miskin dilarang bersekolah disini!”
“ Maafkan saya Bu”
“Kamu keluar, dan cari pinjaman sampai dapat, tidak peduli usaha apapun yang dilakukan”
Seraya melangkah keluar kelas, airmataku hampir jatuh, segera kutengadahkan keatas kepalaku agar airmata ini tetap tersimpan karena hidup ini tidak boleh begitu saja ditangisi. Aku sampai diperpustakaan, dan mencari handout bahasa Inggris yang dimaksud, mengambilnya segera, dan menyerahkan kartu Anggota perpustakaan. Sampai dikelas, akupun langsung duduk dibangkuku, Aliya, teman sebangkuku, tersenyum menatapku. Kubalas senyumnya dan segera kubuka halaman yang sama dengan yang Aliya baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar